Halaman

Senin, 27 Juni 2016

Pernikahan


“Selamat atas pernikahanmu”

“Terima kasih, sudah lama tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu?”

“Baik. Walau pernah lebih baik dari ini”

Sang wanita terdiam, lalu melanjutkan bicara berusaha terlihat wajar “Silahkan disantap jamuannya. Semoga menikmati ya”

Pria itu tersenyum, berbisik di dekat wajah sang mempelai wanita “Kau tau benar, aku tak bisa begitu”

Pembicaraan terhenti, kondisi bersesakan di belakangnya yang menunggu giliran untuk menyalami sang pengantin memaksa pria berkulit putih ini untuk turun dari pelaminan segera.

Raut ceria yang dibuat-buat oleh mempelai wanita semakin kaku. Ia menatap lemah punggung pria yang pergi itu dari kejauhan.

“Kamu tidak apa-apa, nak?” ujar seorang wanita tua bersanggul rapi yang sedaritadi berdiri mendampingi. Semburat kerut terpampang di kulit wajahnya yang sawo matang. Polesan bedak dan gincu belum mampu menutupi air wajahnya yang lelah.

Ia menyentuh lembut tangan sang mempelai wanita. Sentuhan yang hangat dan menyiratkan kekhawatiran mendalam. Tangan wanita tua yang kasar membabat habis kelemahan hati sang mempelai wanita. “Aku baik-baik saja, bu” balas wanita itu, tersenyum tulus.

“Kamu bahagia?” tanya wanita tua itu lagi.

Sang mempelai wanita termangu. Di beberapa detik pertama, satu nama, satu gambaran wajah, dan satu kisah terlintas. Suara berat yang sempat mengisi sebagian besar ruang di gendang telinganya, kembali hadir. Memori akan sentuhan tegas yang sempat memberi keyakinan pada masanya, pelan-pelan menuntut kembali masa kejayaannya.

Di beberapa detik berikutnya, permukaan tangan wanita tua yang kasar itulah yang memenuhi benak.  Isakan tertahan adik yang kelaparan serta bunyi gemeretak gigi di kala menggigil suatu waktu di musim hujan berhasil memukul mundur semua ragu dan memori masa lalu yang sentimental.

Sang mempelai wanita kembali tersenyum, lebih tulus, dan menggandeng sang mempelai pria “Tentu saja, kami sangat bahagia”.


4 Maret 2016 | 11 : 22 PM