Halaman

Minggu, 30 Agustus 2020

Pertanyaan

 

Ilustrasi : Mima Uasha | Referensi Ilustrasi : 케일리[KAYLEE ARTravel]
Cerita : Dewi Emillia


“SUDAH SAMPAAAI! Akhirnya!~” pekik Sandra – wanita berambut bob coklat kemerahan – bersemangat saat melihat papan kayu bertuliskan ‘Taman Az Zahra’.

Please, ngga usah mendadak teriak kalau ngga mau gue tabrakin ini mobil ke papan kayu itu” protes Laras, gadis Jawa – yang telah meresapi gaya anak perkotaan terlalu dalam – berambut hitam lurus sepinggang dengan tahilalat manis yang menghiasi sudut bibirnya.

“Coba mana coba? Tabrakin cobaaa” tantang Sandra sambil terkekeh-kekeh yang disusul oleh pelototan murka Laras.

Sinta menghela nafas mendalam, “Din, coba bacain surat apa gitu biar mereka akur. Ayat kursi kek, apa kek.” ujar Sinta sambil membenarkan jaket jeans nya yang melorot.

Diniyah menggelengkan kepalanya berat, “Sudah tidak ada harapan untuk mereka”. Tawa Sandra semakin kencang.

“Laras, orang waras mengalah” ucap Tasya – wanita bertubuh semampai yang mengenakan baju terusan pink, hijab motif bunga berwarna coklat susu.

“Kalau orang waras mengalah terus kerjaannya, nanti yang ambil alih posisi penting di segala lini jadi orang kayak gini semua” balas Laras sambil memberi isyarat kode gerakan jari telunjuk miring di depan dahi nya, usai ia mematikan mesin mobil. Empat orang lainnya pun tertawa kencang melihat ekspresi Laras.

“San, kita bisa langsung ke villa nya dulu, kan?” tanya Tasya sembari mengeluarkan tas-tas dari mobil dan mendistribusikannya satu persatu ke pemiliknya.

“Yep! Tinggal taro barang di kamar terus kita jalan-jalan deh~” balas Sandra sambil merangkul Laras, memastikan kalau mereka telah berdamai.

“Udah mau dzuhur, nanti shalat dulu lho ya” ujar Diniyah setelah mengecek jam di arloji bertali kulitnya.

“Iya mamah Dini” jawab Sandra, Laras dan Tasya serempak.

“Aku engga lho, ya” balas Sinta jenaka, yang kemudian ditimpali oleh Diniyah “Kalau mau coba dulu juga boleh. Siapatau tertarik untuk melanjutkan kelak”. Mereka pun tertawa sembari menyusuri koridor dengan pilar putih kokoh yang dikelilingi salur dedaunan menuju kawasan villa.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Sandra masih sibuk mencari posisi dan sudut yang tepat untuk mengambil potret pondok kayu yang akan mereka tempati sebelum ia diseret paksa oleh Sinta menuju destinasi berikutnya.

“Kenapa deh kok buru-buru?” protes Sandra sambil menepuk kotoran pada kulot berwarna pastelnya.

“Nyonya lapar berat” jawab Sinta sambil menunjuk ke arah Tasya.

“Astaga! Situasi genting berarti! Kenapa kita jalan?! Ayo lari! Kalau perlu naik jet kita ke resto! Go go go go!” balas Sandra berpura-pura histeris dan mulai berlari-lari kecil.

“Sya, kalau butuh preman bayaran buat gebukin Sandra, kabari gue aja. Biar gue yang melakukan pekerjaan kotor itu.” sahut Laras yang disambut oleh tawa renyah Tasya.

“Kenapa sih harus pakai kekerasan, mbak Laras? Why?” tanya Sandra sok memelas.

Seketika, Diniyah memegang kepala Sandra dan melantunkan ayat kursi.

“HEH! DIKIRA GUE SETAN?!” ujar Sandra kaget. Laras tertawa dan tepuk tangan dengan sangat bahagia.

“Wah itu tuh, Resto floral nya” ucap Sinta menyadarkan kelompoknya akan tujuan utama mereka.

“Masya Allah. Suka deh interior kayu di segala furniturnya. Lampion kayunya cantik” balas Diniyah terkagum-kagum saat memasuki resto Floral.

“Komplek wisata Taman Az-Zahra ini paket komplit banget sih emang, ya. Penginapan ada, kebun bunga ada, tempat outbound ada, kolam renang indoor ada, mini market ada, resto pun ada. Bahkan resto Floral ini menawarkan beragam masakan dari berbagai tempat. Japanese, Chinese, Western, Indonesia. Wah..” puji Tasya sembari membuka-buka katalog menu makanan dengan semangat.

Sandra baru membuka mulut untuk berbicara sebelum disela oleh Laras “Jangan tanya apakah di sini ada jodoh atau tidak. Klise. Cari lelucon yang lain.”

Sinta terkekeh melihat muka cemberut Sandra yang gagal melucu.

Setelah memesan makanan di lantai dasar dan diantar menuju meja pilihan mereka, lima sekawan itu hanya diam, khidmat menatap pemandangan dari lantai paling atas resto Floral yang menghadap langsung ke pegunungan. Mereka ditemani oleh angin semilir yang sejuk dan kicau burung yang berbaur dengan lantunan musik dari resto.

“Makan di teras atas sini emang lebih asik ya daripada di dalam ruangan ber-AC” ucap Laras memecah keheningan. Tak lama kemudian, pramusaji pun datang dan menyuguhkan hidangan makanan yang telah dipesan.

Sinta tertawa kecil “Mata Tasya bersinar paling cerah saat lihat makanan, ya”. Tasya pun hanya tersenyum lebar hingga menampakkan giginya.

“Eh, parade bunga nya dimulai jam berapa sih?” tanya Sinta. Sandra – sang inisiator liburan kali ini – pun menimpali setelah melirik contekan jadwal di telepon genggam nya “Kisaran jam 5 sore dimulai. Kita tetep harus stand by sih karena pengunjungnya pasti ramai. Wajarlah ya, soalnya acara sekali setahun.”

“Nanti kita mau ke kebun bunga setelah makan?” tanya Laras.

“Nanti aja deh. Kita perginya abis ashar aja. Kalau dari sekarang jalan-jalan di kebun bunganya, nanti energi keburu abis duluan. Kita kan mau ngikut parade sampai larut, toh. Kebun bunga nya pas malam pasti bagus. Nanti ada lampu cantiknya gitu”. sahut Sandra.

“Kita mau ngapain dong sambil nunggu parade?” tanya Laras lagi.

“San, kasih ide dong. Ide lo biasanya cemerlang” celetuk Sandra ke Sinta. Sinta pun mengernyitkan alis dan pasang pose berpikir. “Ah!” seru Sinta tiba-tiba.

“Main permainan kita yang biasa aja. Main ‘Teka-teki mamah Dini’ ” jawab Sinta girang. Diniyah pun menghela nafas “Aku lagi yang jadi tumbalnya.”

“Hahaha. Boleh deh. Walau gue ngga ngerti kenapa kita ngga bosen-bosen main kuis ini. Padahal pertanyaan juga acak, jawabannya apa lagi.” sahut Sandra menyetujui.

“Ya karena ngga jelas itu makanya kita suka” sambung Tasya setelah asik menyeruput kuah soto mie.

“Heran, ya. Orang waras terus-terusan mengalah. Hal yang ngga jelas, malah disukai. Apa yang salah sih pada kehidupan ini?” sahut Laras sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Sssttt.. yang boleh melempar pertanyaan di sini cuma Diniyah” protes Sandra.

“Sesi kuis-kuisannya setelah kita semua selesai makan ya, anak-anak. Mamah mau cari ilham dulu” balas Diniyah pasrah mengikuti permintaan sahabat-sahabatnya itu.

“Oke, mamah Dini” jawab Sandra, Laras, Sinta dan Tasya serempak yang kemudian disusul oleh khidmatnya mereka menyantap hidangan di hadapan mereka. Sesekali mereka saling mengobrol kecil dan tertawa atau saling menangkap citra satu sama lain dengan pose andalan masing-masing.

Setelah menuntaskan makanan dengan lahap, air wajah lima sekawan – kecuali Diniyah – terlihat berbinar menanti pertanyaan yang akan diajukan Diniyah.

Diniyah menahan senyum melihat ekspresi sahabatnya yang seperti anak kecil menunggu didongengkan ibunya sebelum tidur. Diniyah pun berdeham dan merapikan letak kerudungnya agar simetris “Oke. Kita akan mulai ‘Teka-teki mamah Dini’. Sekarang.. juga!” ucap Diniyah sambil mengetuk sendok ke piring agak kencang sebanyak tiga kali dengan serius.

Melihat wajah para ‘anak kecil’ yang fokus, Diniyah pun melanjutkan pertanyaannya “Apa fungsi dari bunga?”

“Eheeeeyyy!” pekik Sandra, Laras, Sinta dan Tasya dengan nada protes secara kompak.

“Sejak kapan ‘Teka-teki Mamah Dini’ berubah jadi olimpiade Biologi?” tanya Sinta heran.

Diniyah pun tertawa kecil mendengarnya. “Kalian lupa aturan ‘Teka-teki Mamah Dini’? Jawablah dengan sesuka hati. Simpulannya nanti kan urusanku”.

“Fungsi tuh gimana deh? Ya buat keseimbangan alam, lah” jawab Laras.

“Yaudah, kuganti pertanyaannya supaya tidak mengingatkan kalian pada Biologi. Dalam kehidupan sehari-hari kita, bunga bisa digunakan sebagai lambang apa? Apa yang biasanya orang-orang lakukan menggunakan bunga?” sahut Diniyah mengalah.

“Lambang cinta, dong!” sahut Sandra dengan menggebu-gebu. Ia pun spontan bertekuk lutut di hadapan Laras sambil seakan-akan menyodorkan bunga dan berkata dengan lembut “Will you marry, me, Prince Harry?

Laras menatap Sandra dengan manis “How much do you love me, Young Lady?

I will die for you, prince! I will give you my all!” balas Sandra meneruskan sandiwara dadakan.

Then, please die” jawab Laras sambil menyodorkan pisau steak nya ke depan muka Sandra.

“Astaghfirullah… Pisau lho itu, Ras” sahut Sandra yang terduduk lemas di lantai karena kaget.

“Hahaha elah, srimulat” celetuk Sinta.

Tasya menggeleng-gelengkan kepala ke arah Diniyah “Pertanyaan Mamah Dini hampir saja menumpahkan darah”.

“Bukan pertanyaanku yang salah, anak muda. Jiwa-jiwa mereka yang tersesat lah yang menggiring mereka pada malapetaka” jawab Diniyah membela diri.

“HAHAHAHAHA” tawa Sinta pun meledak sekali lagi.

“Lambang simpati” jawab Laras tanpa memedulikan sandiwara yang telah berlalu. “Kenapa, tuh?” tanya Diniyah.

“Hmm.. karena orang-orang terkadang memberikan buket bunga untuk orang yang baru sembuh dari sakit. Atau kadang memberi karangan bunga juga untuk keluarga dari seseorang yang meninggal dunia.” jelas Laras.

“Wah, jawaban yang bagus” ucap Sinta sambil bertepuk tangan kecil. Diniyah pun mengangguk-angguk.

“Aku mau coba jawab! Lambang penghormatan! Karena bunga-bunga indah biasa ditabur untuk mengenang jasa para pahlawan” jawab Sinta yang mendadak diikuti dengan senandung mengheningkan cipta oleh Sandra dan Laras. Diniyah terkekeh-kekeh melihat dua temannya yang selalu kompak di saat yang tepat. Diniyah mulai berpikir bahwa Sandra dan Laras harus benar-benar mengikuti audisi Srimulat.

“Tasya belum nih. Keliatan berpikir keras banget. Ngga lagi mikirin mau pesan tambahan makanan apa, kan, Sya?” ledek Sandra.

“Bunga itu….. lambang pengkhianatan?” jawab Tasya dengan agak ragu setelah berpikir beberapa saat.

Spontan, Sandra, Laras dan Sinta  langsung menatap Tasya lekat-lekat dengan rasa penasaran di wajah mereka. Diniyah pun tersenyum tipis, “Lanjut, Sya penjelasannya”.

“Berdasarkan pengamatan pada drama-drama di televisi, dan sepertinya juga sering terjadi di kehidupan nyata, banyak orang yang setelah berselingkuh, pulang kembali pada pasangannya dengan segudang hadiah, termasuk buket bunga yang sangat mewah dan cantik.” jawab Tasya lagi.

Tasya pun melirik sahabat-sahabatnya dan mendapati ekspresi mereka yang termangu beberapa lama.

“Bener juga ya..”celetuk Laras sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Oh my god. Otak gue yang polos dan suci ini mendadak sakit membayangkannya” sahut Sandra.

Diniyah justru nampak puas dengan jawaban yang ia dengar dari Tasya.

“Wah, mamah Dini tersenyum! Berarti jawaban Tasya adalah jawaban yang ia nanti-nanti!” seru Sinta sambil menunjuk ke arah Diniyah.

Diniyah pun tertawa “Hahaha. Apa sih? Jawabannya kan boleh bebas. Santai aja, dong”.

“Oh! Kalau gitu bunga juga bisa jadi lambang teror” sambung Laras.

“Waduh, kenapa lagi, nih?” tanya Sandra kesal mendengar lambang cintanya terus dipojokkan.

“Karena bom suka diselipkan di dalam tanaman atau karangan bunga, supaya ngga ketahuan”, jawab Laras.

“Astaghfirullah..” sahut Tasya.

“Bunga tidak akan pernah terlihat sama lagi setelah ini” gumam Sinta sambil menyeruput jus mangganya yang tersisa sedikit.

Diniyah pun tidak bisa menahan tawanya dan sibuk tertawa sambil menutupi mulutnya.

“Setelah ini apa nih, Mah? Masuk ke simpulan atau pertanyaan tambahan?” desak Sandra.

Diniyah pun menenangkan diri dan kembali ke mode serius “Kita masuk ke pertanyaan tambahan dulu, ya. Pertanyaan terakhir.”

Empat orang yang lain pun mengangguk dan kembali menyimak apa yang akan Diniyah sampaikan.

“Setelah tadi sahabat sekalian menjabarkan lambang dari bunga, bulatkan satu suara dan jawab : bunga itu sebenarnya baik atau jahat?” tanya Diniyah.

“Eheeeeyyy!” pekik Sandra, Laras, Sinta dan Tasya dengan nada protes untuk kedua kalinya. Diniyah pun kembali tertawa.

“Saat awal kuis, gue udah siap dengan pertanyaan aneh, tapi malah dikasih kuis biologi. Saat pertanyaan terakhir, gue udah menyiapkan mental dengan pertanyaan sains, malah dikasih pertanyaan yang ngajak berantem”, protes Sandra yang membuat tawa Diniyah semakin kencang.

“Tenang, kawan-kawan. Mari kita lalui semua kuis ini dengan lapang dada. Saatnya kita musyawarah untuk mencapai mufakat” ucap Tasya memberi komando. Keempat wanita itu pun membuat formasi lingkaran dengan saling merangkul bahu satu sama lain dan berdiskusi sambil berbisik.

Setelah beberapa lama berdebat, akhirnya mereka menyetujui satu jawaban. Diniyah yang melihat sahabat-sahabatnya bangkit dari pose melingkarnya pun merespon “Bagaimana? Sudah ada kata sepakat di antara kalian?”

Empat wanita itu pun mengangguk dan Tasya angkat bicara “Jawaban kami adalah bunga itu baik”.

Diniyah pun mengangguk dan Tasya melanjutkan pembicaraannya “Alasan kami adalah karena pada dasarnya, seluruh makhluk Allah itu diciptakan dalam keadaan baik.”

“Allahu akbar!” pekik Sandra menambahkan dengan semangat.

Diniyah pun tersenyum lebar sambil menutup mulutnya untuk menahan tawa “Jawaban yang bagus”.

“Jawaban Mamah Dini apa?” tanya Sinta.

Diniyah pun menjawab dengan wajah polos “Dua-duanya. Baik dan jahat”.

Keempat temannya menghela nafas dengan berat. “Sebaiknya Mamah memberikan simpulan yang menggugah jiwa kami ya, atau pisau steak nya Laras akan melayang-layang” gerutu Sandra yang membuat Diniyah tertawa lagi dan lagi.

“Boleh jawabnya via telepon aja, ngga? Aku menyingkir dulu ke pos satpam, untuk jaga-jaga.” celetuk Diniyah yang membuat lainnya tertawa.

“Ngga boleh ngga sopan sama Mamah Dini! Bagaimanapun menyebalkannya jawaban Mamah Dini, samsak tinjunya tetap kamu, kok San.” balas Laras yang membuat Sandra berekspresi pura-pura terkejut dan merasa tertindas.

“Kami siap dengan simpulannya, Mah!” pekik Sinta.

“Jawaban kalian beneran bagus kok, tapi tetap ada lanjutannya. Sayangnya, bunga itu bukan makhluk berakal. Makanya, mereka tidak bisa bebas memilih mau jadi baik atau jadi jahat” jelas Diniyah.

“Peran bunga sebagai baik atau jahat ditentukan oleh yang menggunakannya. Ya manusia. Kita, sebagai makhluk berakal. Tergantung niat manusia.” jawab Diniyah yang menjeda ucapannya sebelum akhirnya disambung kembali “Jika kita berniat jahat, maka kita bisa menggunakan bunga yang indah sebagai alat kejahatan. Jika kita berniat baik, kita bisa menggunakan bunga untuk menebar kemanfaatan. Dan ini tentu saja tidak berlaku hanya untuk bunga. Untuk semua hal lainnya juga. Yang paling populer sebagai pisau bermata dua misalnya adalah lisan. Tentu tau dong betapa berbahaya sekaligus ampuhnya lisan? Intinya, apapun berasal dari niat, anak muda. Jagalah dirimu dimulai dari membenarkan niatmu.” jawab Diniyah mengakhiri penjelasannya.

Keempat temannya pun menyambut akhiran simpulan dengan tepuk tangan yang meriah.

“Selalu diakhiri dengan ceramah yang lembut. As expected from Mamah Dini” ujar Laras.

“Udah mau jam tiga sore ih masa hahaha” tawa Sinta saat melirik ke jam pada telepon genggamnya.

“O ya? Waw.. Oke, kita harus bersiap-siap ke parade bunga. Sebelumnya ke villa dulu kali ya buat shalat? Lebih nyaman di sana shalatnya” balas Diniyah sambil merapikan piring kotor dan alat makan yang berantakan di meja.

“Siap, mamah Dini” jawab Tasya sambil ikut merapikan meja.

Sementara itu, Sandra masih terbengong-bengong dan kemudian menyeletuk “Ih, gue kebayang-bayang terus bunga sebagai lambang pengkhianatan. Jadi sebel deh sama bunga”.

Sinta tertawa terkekeh-kekeh, “Terus kayaknya kalau kita dapat buket bunga harus dicek juga apa ada bom nya atau engga”

Diniyah menggeleng-geleng kepala “Begini nih karakter manusia. Intisarinya apa, yang membekas di hati lain lagi.”

Laras pun tertawa “Sabar ya, Mah. Manusia memang lebih tertarik pada hal-hal yang dramatis dan imajinatif.”

“Tolong tetap berteman dengan kami ya, Mah” sahut Tasya menimpali.

Diniyah tersenyum “Yuk, ke Villa?”. Semua pun bangkit dari duduknya dan menuju lantai bawah untuk menyelesaikan pembayaran.

Setelah selesai melakukan pembayaran, pramusaji pria yang mengenakan dasi kupu-kupu dengan seragam necis pun menyodorkan 5 tangkai bunga cantik berwarna merah yang masing-masingnya dibungkus kertas krep, plastik bening dan pita kepada Sandra sebagai cinderamata khas dari resto Floral.

“Silahkan diambil, Mbak. Ini signature gift kami untuk para pengunjung resto” ucap sang pramusaji dengan ramah pada Sandra.

Sandra yang mewakili lima sekawan pun cuma bisa menatap bunga itu sambil terbengong-bengong dan kemudian menjawab “Kalau boleh tau, mas berniat baik atau berniat jahat ya?”

“HAHAHAHAHAHAHAHAHA” tawa Sinta, Laras, Tasya dan Diniyah pun meledak mendengarnya.

Setelah agak tenang, Tasya segera mengambil bunga-bunga tersebut dan berterima kasih. Ia pun menyeret teman-temannya – berikut Sandra yang masih terus berpikir apakah bunga itu aman – keluar dari resto dan menyisakan mas pramusaji yang kebingungan.


Jumat, 21 Agustus 2020

Hayaah


Ilustrasi : Mima Uasha | Referensi Ilustrasi : @kaylee_palette & Art AnĐinh
Cerita : Dewi Emillia

Wajah pria paruh baya yang mengenakan baret berwarna biru aqua di hadapanku ini penuh peluh, namun sorotan matanya tetap lurus dan tak bergeming. Ia menggoreskan kuasnya dengan sigap dan yakin pada tubuh kanvasku. Sudah beberapa hari kami bersama di tempat favoritnya – pojok ruang persegi panjang berukuran  6 x 3 meter, tepat di dekat jendela tinggi yang dibiarkan terbuka dan menyuguhkan pemandangan halaman yang asri. Angin sepoi-sepoi yang menelisik masuk ke ruangan tidak terlalu membantu pria ini mengusir buliran air di wajahnya, namun terlihat jelas ia merasa lebih nyaman.  Lantunan musik instrumental yang ia putar sedikit membantu meredam kegugupan di awal kedatanganku. 

“A.. Ad.. Adlan.. A.. i.. Aid.. Aidan. Ah, Adlan Aidan” gumamku yang akhirnya berhasil mengeja goresan nama pada kuas kayu sang pria yang kerap disebut ‘ayah’ ini. Lambat laun, aku mulai terbiasa dengan lingkungan baru, beserta sekumpulan kawan yang berwujud serupa denganku di sudut lain dalam ruangan.  Aku tidak sabar untuk bergabung dan mengobrol dengan mereka seperti yang mereka lakukan selama ini sambil memperhatikanku. “Apakah aku akan seindah mereka?” ucapku membatin sambil melirik ke arah mereka dan tersipu.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

“Hey, sudah berapa lama ini? Apa kita perlu begadang lagi untuk menyambut si kecil?” tanya Damai - lukisan bergambar perempuan kecil berambut kepang, berwajah bunga daisy yang tidur bersama merpati dan singa – setengah berbisik. 

“Sabar, Damai. Terakhir kali ayah membuatmu, kami terjaga seminggu di sini” jawab Cemani – lukisan dominan hitam legam dengan sapuan tipis samar putih bergambar tangan yang saling merangkul.

“Sepertinya sebentar lagi selesai. Aku hafal wajah pria tua itu. Lihat! Ia mulai menyunggingkan bibirnya puas dan alisnya sontak naik memamerkan kebanggaan. Itu adalah tanda-tanda kelahiran adik terakhir kita. Ya, kalau menggunakan bahasa manusia, mungkin sudah bukaan sembilan ya” celetuk Citra – lukisan bergambar sekumpulan potret hitam putih yang digantung horizontal sebagai jembatan antara dua figur setengah wajah yang tertutup buket bunga.

“Jaga bicaramu, Citra! Dia ayah kita.“ hardik Harmoni – lukisan bergambar Igloo dengan pekarangan yang dikelilingi berbagai tanaman dan bunga yang mengkristal.

“Dengarkan  Kak Harmoni tuh, kalau kamu ngga mau tubuh penuh potretmu itu tercerai berai ke barat dan timur. Hmm, kurasa ayah masih punya waktu untuk menggambar ulang satu lukisan lagi sebelum pameran dimulai. Kami sih tidak mengapa jika kamu keluar dari tim~ ” ujar Damai sambil terkekeh meledek Citra.

“Namanya sungguh tidak mencerminkan akhlaknya. Hhh…” gumam Cemani sembari menjauhkan diri dari perseteruan yang memanas di belakangnya.


“BINGO!!! Ahlan wa Sahlan, Hayaah!” pekik pria bernama Adlan dengan sumringah seraya bangkit dari posisi duduknya. Sontak, para lukisan lain memusatkan perhatiannya padaku. “Selamat datang ke keluarga besar, Nak. Nama kamu Hayaah. Aku, Adlan Aidan. Panggil saja ayah, agar sederhana. Hiduplah dengan sepenuhnya, ya.” ujar ayah lagi dengan lembut.

Ayah pun melengkapiku dengan pigura dan meletakkanku di kumpulan lukisan lain yang ternyata adalah saudara-saudaraku. Kami saling memperkenalkan diri satu sama lain – ya walaupun aku sudah lebih dulu tau tentang mereka dengan bermodal mencuri dengar pembicaraan hehehe.


“Waw, kau indah sekali, Hayaah. Adik bungsu kita ini bukan main” puji Damai yang tidak henti melihatku dari atas hingga bawah. 

“Biarkan Hayaah beristirahat, Damai. Kita hanya punya waktu satu minggu sebelum pameran. Kita harus memastikan adik kita memiliki energi yang cukup” sambung Harmoni dengan tutur kata yang ramah.

“Pa.. pameran? Apa itu?” tanyaku bingung.

Cemani pun angkat bicara dan mencoba menjelaskan, “Pameran itu adalah pertunjukan karya seni. Kita akan segera menghadiri pameran lukisan sebagai salah satu rangkaian acara Amal yang diselenggarakan oleh ayah dan tim pelukis lainnya.”

“Acara Amal?” tanyaku lagi takjub.

“Acara amal adalah acara yang diselenggarakan untuk melakukan penghimpunan dana yang dialokasikan untuk keperluan sosial. Konon, acara amal berupa pameran lukisan ini diadakan 2 tahun sekali. Para pejabat penting rutin memeriahkan acara ini. Mereka akan melelang kita dengan harga terbaik dan merawat kita dengan kasih sayang kelak hehehe” ujar Citra tak kalah semangat.

“Yang paling penting adalah, dana hasil lelang lukisan ini akan disalurkan untuk yayasan peduli Kanker serta lembaga peduli disabilitas. Kita akan berkontribusi dalam membantu  para manusia yang membutuhkan, Hayaah.” ujar  Harmoni.

Aku bersemangat mendengar bahwa aku bisa memberi manfaat untuk orang lain. Namun, seketika, aku termangu “Tapi.. apa ada yang mau membeliku? Apa aku cukup indah? Seperti kalian?” tanyaku lirih.

Citra sempat terbengong beberapa saat sebelum ia menyeretku terburu-buru menuju ke depan cermin berpigura emas di tengah ruangan. “Lihatlah sendiri bagaimana bentukmu” ujar Citra tidak sabar.

Aku terbelalak melihat wujud diriku di depan cermin. Figur tubuhku sama besar dengan saudaraku yang lain, pigura putih susu dengan ukiran sulur yang detail dan cermat menambah kesan elegan dan antik. 

“Bagaimana? Indah kan?” tanya Cemani sambil tertawa kecil. 

Sudah beberapa menit aku terpaku di hadapan cermin dan mengamati saksama lukisan pada badanku. Kanvasku yang luas telah terisi penuh oleh empat panel dengan gambar setiap musim yang selama ini sesekali kudengar dari celetukan Ayah.

“Hey! Bagaimana, Hayaah? Kamu Indah, kan? Apa sekarang sudah jatuh cinta pada dirimu sendiri?” gurau Damai.

Aku pun terkaget dan merespon dengan mengangguk cepat riang gembira. Reaksiku pun disambut dengan tawa hangat yang riuh di antara kami.

Ah, tidak sabar menanti acara amal, wajah penuh senyuman dan tangan hangat yang akan menyambutku. Uh, segeralah tiba!

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Hari pameran lukisan yang kami tunggu telah tiba. Aula tinggi berhiaskan ukiran emas pada langit-langit dan pilar bangunan serta berlantai marmer ini tampak penuh dengan sekelompok orang-orang berpakaian necis. Aku mendengar alunan musik yang asing bagiku namun sangat menyenangkan, nada nya lebih ceria dari musik ayah di ruang kerjanya. Saudara-saudaraku nampak santai dan berdendang kecil mengikuti lantunan lagu. Bunga hidup yang tersusun rapi di sekeliling ruangan mengeluarkan aroma wangi yang manis, lembut dan menenangkan. Kami diletakkan di dinding tengah, mudah disoroti oleh tamu-tamu yang datang. Sebagai pelengkap, ayah memberi tambahan label pada tubuhku dan saudara-saudara yang lain. “Ini adalah penjelasan mengenai gambar kalian. Semoga mereka mengerti keindahan kalian, sama sepertiku” ujar ayah pada dirinya sendiri sembari menekankan label dengan hati-hati. Aku melirik label dan mendapati tulisan ‘Hayaah’ tertera di sana, lalu tersenyum. Semua orang terlihat sibuk. Aku semakin berdebar-debar!

“Hayaah, apa kamu lihat di beberapa sudut ruangan itu? Mereka juga lukisan yang sama seperti kita. Mereka adalah karya dari teman-teman pelukis ayah. Ku dengar, acara ini memang selalu ramai pengunjung.”  jelas Harmoni.

“Tentu saja. Acara seperti ini hanya diadakan 2 tahun sekali. Bisa dibilang kita ditunggu-tunggu, loh. Selebriti di kalangan manusia!” celetuk Damai bersemangat.

“Oh, acara ini akan berlangsung selama tiga hari. Dan pelelangan akan diadakan di hari terakhir nanti. Sekarang, kita cukup menikmati acara saja” ucap Citra menambahkan.

Aku mengangguk pelan  “Mmm.. apakah itu berarti setelah acara ini selesai, kita akan berpisah?”

Seluruh saudaraku terdiam menatapku, kemudian Harmoni tersenyum lembut “Dimanapun kita berada, kita tetap akan menjadi anak Adlan Aidan, anak ayah.”

Damai mendekatiku “Hiduplah dengan sepenuhnya, Hayaah, seperti kata ayah.”

“Bukan sebuah fenomena yang kerap terjadi mendengar Damai berkomentar normal, namun ya *ehem* patut kita syukuri.” sela Citra sambil mengangguk-angguk.

“Oh, apakah ada yang menginginkan tubuhnya berpisah dan terkoyak ke  arah barat dan timur hari ini?” balas Damai jengkel yang kemudian segera ditengahi Harmoni.

Aku pun tertawa bersama Cemani. Sangat menyenangkan bersama mereka, namun hidupku harus terus melangkah maju. Ya, aku akan hidup dengan sepenuhnya.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

“Kali ini, saya akan menjelaskan karya saya yang terakhir. Karya yang sangat bermakna bagi saya.” ucap ayah saat memulai perkenalannya mengenaiku di depan para peserta lelang.

“Saya memberi nama karya ini Hayaah, yang berarti kehidupan. Perjalanan saya beberapa tahun terakhir di negeri empat musim memberi kesan mendalam sendiri mengenai kehidupan, mengenai semesta ini.” 

Ayah berhenti sejenak sebelum melanjutkan “Kompleksitas kehidupan tidak akan pernah bisa dijelaskan di atas satu lembar kanvas, namun saya berusaha menunjukkan bagaimana kehidupan ini bekerja. Kehidupan pun memiliki musimnya. Dan manusia, atas segala yang dikaruniakan kepada kita, mampu menghadapi segala musim. Namun, pada akhirnya tetap akan ada suatu titik henti pada suatu musim. Daun yang gugur dan mati atau ranting yang membeku. Oleh karena itu,  hingga suatu titik kelak kita harus berhenti, mari kita semua hidup dengan baik dan sepenuhnya, sesuai dengan yang diinginkan oleh Maha Pencipta kita. Inilah, Hayaah.” 

Seiring ayah mengakhiri presentasinya mengenaiku, para pengunjung menyambut dengan tepuk tangan meriah. Satu hal yang baru kuketahui belakangan adalah bahwa ayah adalah seniman yang cukup ternama. Jujur, fakta ini membuatku semakin gugup.

“Setelah ini, pelelangan akan berlangsung melalui suatu aplikasi di gawai para peserta masing-masing.” jelas Harmoni yang selalu bisa mengetahui pertanyaanku bahkan sebelum aku berkata apa-apa.

“Lucu juga membayangkan mereka menyantap hidangan serta menikmati hiburan dengan santai di kursi masing-masing lalu hanya dengan menggerakkan sedikit jari jemari, ratusan juta bisa keluar begitu saja dari mereka.” tambah Citra yang baru mendapat kisaran info harga lelang dari bapak bertubuh sintal dan berkumis tebal yang sering lalu lalang mengamati kami.

“Semuanya..” ucapku mendadak. Kemudian saudara-saudaraku menoleh dan menungguku menyelesaikan kalimatku. “… dimanapun kita berada, semoga kita berbahagia selalu, keluargaku. Keluarga Adlan Aidan.” lanjutku pelan sambil menahan isak. Mereka semua pun tersenyum lembut dengan kesedihan yang sama. Damai lantas sedikit membalikkan badan dari kami.

“Hei, kau tidak menangis kan? Sama sekali tidak cocok dengan kepribadianmu.” gurau Citra melihat Damai yang diam-diam sesenggukan. Dan seperti biasa, kekhidmatan kita selalu diakhiri dengan tawa melihat Citra dan Damai yang saling menggoda satu sama lain.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

“Harus saya letakkan dimana lukisan ini, Tuan?” seru nona muda berseragam biru putih dengan sedikit aksen renda pada tepi lengan bajunya sembari membawaku dengan hati-hati.

Pria berwajah kotak dengan rahang lebar itu menatap kami sekilas sambil mengernyitkan alisnya berusaha mengingat sesuatu. “Ah… Lukisan yang kuperoleh dari lelang hari ini ya. Letakkan dimana saja yang masih kosong” jawabnya lagi seadanya dan segera masuk menuju rumah putihnya yang tidak kalah besarnya dari tempat pameran.

“Wah pelelangmu adalah pengusaha terkemuka di bidang otomotif, Hayyah. Ia adalah tuan Thomas Reynhard. Wah, beliau sepertinya cukup makmur. Beruntungnya kau~ ” ucapan Damai kembali terngiang di telingaku. 

Baru beberapa langkah aku masuk, sudah terlihat koleksi miniatur kendaraan dari berbagai era yang menghiasi pojok ruangan di dalam etalase kaca yang besar dan mengilap. Dinding ruangan pun penuh dengan pajangan yang berkaitan dengan dunia otomotif, bahkan ada pojok khusus untuk koleksi roda ban dengan berbagai spesifikasi dan zaman. Aku mengerjap beberapa kali sambil berpikir apakah aku dibawa ke rumahnya atau ke museum.

“Oh, Isabelle. Apa yang kamu bawa itu? Koleksi baru?” tanya pria muda berambut ikal dengan figur wajah yang serupa dengan tuan Thomas. “Sepertinya anaknya”, pikirku.  

“Ah, ini adalah lukisan yang Tuan Thomas beli saat di pameran acara amal hari ini, tuan muda Ben”. 

“Hah? Lukisan?” ucap pria yang bernama Ben itu ragu dan tidak puas dengan apa yang ia dengar. Air wajah penasarannya sontak sirna dan berganti dengan wajah tidak peduli. “Aku tidak ingat kalau ayah punya ketertarikan pada lukisan” balasnya lagi pada dirinya sendiri.

“Ayah tidak tertarik pada lukisan. Ayah hanya tertarik dalam memberikan impresi yang baik di lelang tadi. Ah, itu lukisan Adlan Aidan. Kau pernah dengar namanya, kan?” jawab tuan Thomas yang mendadak datang bergabung ketika melihat kehadiran anaknya. Jawabannya itu pun diikuti anggukan paham oleh tuan muda Ben seakan baru mendapatkan jawaban dari sebuah misteri yang panjang.

“Hmm masuk akal. Ya, aku pernah dengar. Namanya selalu dielu-elukan oleh penikmat seni.” balas tuan muda Ben yang kemudian memindai tubuhku dari atas hingga bawah.”Ini buatan Adlan Aidan? Hmm.. Waw” gumamnya sembarang.

“Bagaimana menurutmu? Bagus, kah? Semua orang di pameran menginginkan lukisan itu. Makna dan cerita dari lukisan itu dalam. Kata mereka.” tanya Tuan Thomas sambil mengutak-atik beberapa set miniatur rel kereta api yang ia baru beli di perjalanan pulang ke rumah.

 “Menurutku? Hmm… Waw..” ia terdiam sejenak sebelum menyambung kalimatnya “Biasa banget, tuh” jawabnya lagi sambil terkekeh-kekeh.  Tuan Thomas pun turut tertawa dan membenarkan perkataan tuan muda Ben. Aku hanya terbengong mendengar pernyataan mereka.

“Ah aku tidak akan pernah mengerti soal seni seumur hidupku” jawab tuan Thomas dan terus melanjutkan memeriksa secara saksama detail koleksi yang ada di seluruh ruangan. 

“Maaf, tuan muda Ben. Lalu bagaimana dengan lukisan ini? Sebaiknya dimana saya letakkan? Apakah saya pajang di ruang utama ini?” tanya nona muda itu lagi yang sepertinya bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah ini.

“Apa kau bercanda? Kita sebentar lagi akan kedatangan banyak miniatur otomotif antik yang perlu menjadi bintang utama di ruangan ini. Tidak ada ruang untuk lukisan pepohonan itu. Letakkan saja dimana pun yang kosong, tapi tidak di sini.” Jawab tuan muda Ben sekenanya dan segera sibuk mengurusi telepon yang masuk dari rekan kerjanya.

Nona muda berambut hitam kecoklatan ini pun terdiam sambil memutar otak untuk memutuskan ruangan mana yang akan kutinggali. Ia menatapku beberapa lama sambil bergumam lirih “Sayang sekali, padahal lukisan ini indah”. Namun, aku tidak terlalu memasukkan perkataan nona muda ini ke dalam hatiku. Aku sibuk mengulang-ulang adegan tuan Thomas dan tuan muda Ben yang tidak mempedulikanku sama sekali. Aku yang semula percaya bahwa aku bisa membawa kebahagiaan pada keluarga baruku melalui lukisan di tubuhku pun… meragu. 

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Sayup-sayup terdengar suara ramai dari tamu tuan Thomas yang kerap berkunjung ke rumah seminggu sekali dalam rangka pertemuan komunitas penggiat otomotif. Kira-kira sudah lima bulan aku diletakkan di ruangan persegi 3,5 x 3,5 meter yang posisinya ada di bagian belakang rumah. Aku menetap bersama beberapa keluarga baru yaitu Helm corak hijau tentara bernama Army, satu set sarung tangan motor eksklusif dengan tiga variasi warna bernama Orlando serta beberapa tumpukan dus yang belum sempat dibuka.

“Ah, sampai kapan aku teronggok di sini. Aku juga ingin menyapa para tamu itu dengan pesona hijau ku yang otentik” gerutu Army. Aku sedikit tidak fokus mendengarnya karena beberapa sisi tubuhku gatal lantaran mulai dipenuhi debu. Orlando pun menyambung,

“Tenang, Army. Jika semua helm tuan Thomas mendadak serentak rusak, tentu ia akan mengingatmu. Hm.. mungkin 50 tahun lagi? Semangatlah. Itu tidak lama.” jawab Orlando meremehkan.

“Kita semua ini adalah keluarga. Jangan seperti itu, Orlando” ucapku mencoba membela Army. 

“Pfff… Keluarga?! Aku?! Dengan lukisan dedaunan sepertimu??? Yang dari jauh warnanya cenderung hijau keputihan?? Eh, tunggu, bahkan piguramu sudah tidak benar-benar putih lagi.” protes Army kepadaku. Aku pun melotot. “Wah ucapan terima kasih yang sangat menyentuh hati” pikirku.

Orlando tertawa terbahak-bahak “Hey, Hayyah. Aku tidak pernah meledekmu selama enam bulan ini. Tentu bukan karena aku menyukaimu. Apakah kau tau kenapa?”

Aku menggelengkan kepala, “Kenapa?”

“Karena aku bahkan tidak pernah memperhitungkanmu. Kau se-tidak penting itu bagiku. Kau tidak indah sama sekali. Kau sangat berbeda dari kami. Karena itu, aku bahkan tidak terpikir untuk melirik padamu dan meledekimu”.  Orlando dan Army tertawa puas sekali.

Bagaimana reaksiku? Aku hanya terdiam. Dan tidak berbuat apa-apa. Toh, aku bukan siapa-siapa.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Army dan Orlando tengah asyik menggoda satu sama lain saat tuan muda Ben menyeruak masuk ke dalam ruangan. Kami semua terkesiap dengan kedatangan tuan muda. Aku bisa melihat jelas wajah penuh antusias dari Army dan Orlando. Mereka pun belomba-lomba mencuri perhatian tuan muda Ben - yang menurutku sejauh ini masih gagal. Tuan muda Ben nampak sibuk mengukur ruangan dan memetakan sesuatu. “Hmmm…” gumamnya sambil terus berpikir.

“Bagaimana? Masih ada ruangan untuk menumpuk barang baru dari Jerman yang akan datang lusa?” tanya tuan Thomas yang turut  memeriksa ruangan itu.

“Sebenarnya masih sih. Namun, ayah, benda itu, apakah kita tidak bisa melakukan sesuatu untuk melenyapkannya? Dia terlihat sangat… tersesat berada di rumah ini. Ku rasa?” ucap tuan muda Ben sambil menunjuk ke arahku.

“Benda yang kamu tunjuk itu harganya mahal sekali, lho” balas tuan Thomas seadanya sambil menimbang keputusan.

“Tentu saja, Ayah. Pencitraan dan impresi baik di mata pejabat tinggi dan orang-orang penting yang hadir di pelelangan itu pasti harganya mahal.” jawab tuan muda Ben lagi sambil menyeringai. 

Tuan Thomas terdiam sejenak lalu kembali angkat suara “Coba kamu hubungi beberapa galeri seni di kota sebelah. Kabarkan pada mereka bahwa kita memiliki karya asli Adlan Aidan. Cek berapa harga terbaik yang mereka bisa tawarkan. Kamu urusi itu semua, oke?”. Tuan muda Ben pun menyanggupi dengan riang dan segera melaksanakan perintah ayahnya. Ia terlihat sungguh sibuk menelepon berbagai kontak yang ia punya. Aku hanya bisa menatap nanar dari kejauhan - menatap punggung mereka yang semakin menjauh dari ruangan.

Saat aku kembali pada kejernihan pikirku, akhirnya aku menyadari bahwa Army dan Orlando sedang sangat menikmati kabar sedih ini. “Ada yang akan segera dideportasi! Hahahahaha” celoteh mereka berdua sambil tergelak.    

“Diam kalian!” bentak ku untuk pertama kalinya. Tawa mereka justru semakin kencang. Aku menguatkan diri dan berdoa dalam hati agar keluarga baruku – tuan Thomas – berubah pikiran dan bisa menyayangiku sama seperti koleksinya yang lain. Berdoa sekuat mungkin agar aku bisa hidup sepenuhnya.

Beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki menuju ruangan kami lagi. Saat pintu terbuka, tuan Thomas dan tuan muda Ben telah berada di baliknya. Tangan tuan muda Ben penuh dengan berbagai barang dan di luar pintu telah nampak tumpukan dus berbagai ukuran yang siap dimasukkan ke dalam ruangan.

“Galeri mana yang akan memberi harga tinggi tadi, Ben?” tanya tuan Thomas sambil memperhatikan tubuhku dan menyapu sedikit debu di ujung pigura ku lalu spontan dahinya mengernyit. “Oh Galeri Scultura O Angelo” jawab tuan muda Ben. “Hm? Bukankah galeri itu umumnya memajang seni pahat saja?” tanya tuan Thomas lagi sambil menepuk-nepuk tangannya untuk menghempas debu. “Mereka bilang kasus kali ini pengecualian karena karya yang kita miliki adalah karya Adlan Aidan” balas tuan muda Ben sebelum ia balik bertanya “Namun aku baru mendengar dari tim galeri Scultura, bahwa karya Adlan Aidan sangatlah langka. Beliau hanya melelang karyanya melalui acara amal yang ayah ikuti untuk pertama kalinya itu. Apa benar tidak apa-apa kita menjual kembali karyanya begitu saja? Kudengar lagi, tim pameran nya cukup ketat mengenai peraturan lelang.”

“Peraturan? Ah.. Mengenai etika merawat karya yang telah dibeli dengan baik dan penuh kasih sayang? Pfff… Tenang saja. Toh aku membayar mahal. Aku akan melakukan sesukaku.”

“Bagaimana ayah bisa menjadi peserta lelang untuk tahun ini? Bukankah salah satu syaratnya adalah penikmat seni? Konon kabarnya bahkan ada tes untuk menjadi peserta lelang, bukan? Bagaimana bisa ayah lolos? Dan terlebih, untuk apa ayah ikut acara itu? Ayah bahkan tidak tahu apa itu lukisan Monalisa.” tanya tuan muda Ben lagi penasaran. Tuan Thomas hanya tertawa mendengar pertanyaan jujur dari anaknya itu. “Aku menggunakan segala cara agar bisa masuk ke sana. Salah satu pejabat penting yang menjadi kunci utama dalam tender proyek masif otomotif di kota-kota besar turut hadir di sana. Begitu pun tokoh-tokoh masyhur lainnya. Aku harus memperluas koneksiku.”

Tuan muda Ben hanya menggeleng “Hidup sungguh keras” yang kemudian diikuti tawa dari kedua orang tersebut. Seketika, ruangan yang biasanya sepi ini dipenuhi tawa riang gembira. 

Ya, tawa dari mereka yang menginginkan kepergianku.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Pegawai pria berdasi kupu-kupu dari galeri Scultura O Angelo pun keluar dan menyambut kedatanganku. Beberapa pegawai lainnya turut menghampiri dan membawaku masuk ke dalam galeri. Pria berpakaian necis sibuk melayani tuan muda Ben dengan ramah dan mereka berjalan menjauh dariku menuju kafetaria VIP galeri yang nampak nyaman.

Aku melihat ke sekeliling dengan lemah “Halo, rumah baru. Sudah hampir enam bulan pasca aku keluar dari kediaman ayah, dan kini aku di sini. Tidak buruk juga” ujarku menghibur diri. 

Kali ini, aku memang tidak diletakkan di belakang atau tempat terpencil lainnya. Namun karena karya seni utama di galeri ini adalah patung dan pahatan, aku hanya bisa diletakkan di tepi aula dekat tangga. Tidak terlalu jauh dari pusat, namun juga tidak terlalu menyolok karena terdapat pilar tinggi yang sedikit menghalangi orang-orang untuk melihatku dari jauh. 

Resmi setelah aku melihat tuan muda Ben berpisah dengan pegawai galeri dan melangkah menuju kendaraannya, aku terbangun kembali pada kenyataan dan mengikhlaskan semuanya. 

“Mari kita mulai awal yang baru.” ucapku membatin.

Tepat saat aku ingin mengambil kembali puing-puing harapan bahwa suatu saat akan ada yang mau menjadi keluargaku yang utuh, seorang wanita dan laki-laki yang kuasumsikan adalah siswa peserta studi tur – melihat dari seragam yang mereka kenakan – melirik ke arahku “Ih, kok ada seni lukisan pepohonan di sini. Ini kan galeri seni pahat. Aneh banget hahaha” celetuk mereka lalu segera beranjak menikmati karya seni yang lain.

Aku menunduk malu “Berani-beraninya aku berharap”.

Seharian terasa sungguh berat dengan tatapan aneh pengunjung yang kebetulan melihatku. Ditambah lagi, karya seni lain di ruangan ini turut mencemooh aku yang berbeda dari mereka. Aku tidak mengerti, mengapa mereka tidak bisa setidaknya membiarkan aku sendiri.

Aku tidak indah. Lalu apa? Apalagi?

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Seminggu sudah berlalu dan bukannya semakin tegar, aku justru semakin rapuh. Namun tidak mengapa. Aku pasti akan terbiasa. Suatu saat. Pasti.

Beberapa saat kemudian, aku gugup melihat sosok anak laki-laki kecil yang menatapku lekat-lekat. Ah, tenang, aku tidak berharap apa-apa kok. Aku hanya tidak enak jika anak kecil yang manis ini harus melihat diriku yang buruk rupa.

Setelah beberapa lama ia menatapku, ia pun beranjak pergi tanpa berkata apa-apa. Aku pun menarik nafas lega. “Hari yang panjang” gumamku asal.

Menjelang sore, kudapati bahwa anak kecil yang sempat mengamatiku di pagi hari kembali datang. Kali ini ia menghampiriku bersama keluarganya dan pegawai berjas necis dari galeri Scultura O Angelo.

“Allahu akbar. Kau benar, Dawud. Ini adalah Hayaah.” ucap pria paruh baya berjenggot tipis dan berkacamata bulat dengan takjub.

“Wah, bagaimana bisa lukisan ini ada di sini?” tanya seorang wanita yang terlihat seumuran dengannya penasaran. Ia pun melanjutkan “Bukankah ini adalah karya yang hanya dijual eksklusif dalam pelelangan amal?”

“Betul sekali. Sebuah kehormatan bagi kami untuk bisa memiliki salah satu master piece dari Adlan Aidan. Kami bisa memperoleh koleksi berharga ini melalui koneksi kami.” jawab pegawai itu dengan lihai.

Sang pria paruh baya nampak sedikit bingung “Adlan Aidan itu siapa?” tanyanya setengah berbisik pada wanita tadi yang sepertinya adalah istrinya.

“Eh? Tuan tidak tau Adlan Aidan?” tanya sang pegawai terkejut.

Sang wanita yang berbalut gamis marun-hitam menepuk lembut suaminya “Tuan Adlan Aidan itu adalah penyelenggara utama lelang amal dua tahun sekali yang kita tonton di televisi itu. Begitu pun dengan yang melukis Hayaah. Beliau yang membuatnya”

“Oh! Ah, Tuan Adlan Aidan itu berarti pria yang memberi presentasi saat pelelangan itu ya? Oh begitu toh! Hahaha. Mohon maaf, saya tidak terlalu hafal dengan hal-hal seperti itu” jawab pria itu sambil tertawa jenaka.

Pegawai galeri yang masih bingung dan penasaran pun kembali bertanya “Bukankah Bapak tertarik membeli karya ini karena Bapak mengetahui siapa seniman di balik karya ini?”

“Tidak” jawab sang pria. “Kami berniat membelinya, karena Hayaah sangat indah” sambung anak kecil bermata bulat dan bercahaya seperti marmer yang mengilap.

Aku terkesiap. “Apa? Apa aku salah mendengar?” ucapku membatin.

“Karya ini indah sekali, komposisi warnanya, metode pewarnaannya, proporsi panelnya. Terlebih, makna di balik lukisan ini sungguh kuat. Kita terbawa suasana sekali saat tuan Adlan menjelaskannya. Kami pun memiliki pandangan yang sama saat pertama kali melihat Hayaah yang disorot kamera”

Pegawai galeri itu hanya mengangguk-angguk canggung. 

“Ah, jika Anda tidak mengerti apa yang kami bicarakan, itu wajar kok. Kita kan memiliki minat seni yang berbeda. Kami memang menyukai seni lukis, bahkan anak kami, Dawud, kini tengah menekuni aliran surealisme dan impresionisme. Dan oh sepertinya ia ingin mencoba semuanya hahaha. Namun ya, ia lebih tertarik pada pemandangan alam. Di sisi lain, Anda mungkin lebih tertarik dengan seni pahat. Kami juga tidak mengerti sama sekali dengan seni pahat dan cenderung merasa bosan akan hal itu. Hari ini pun saya ke sini hanya untuk mendukung teman yang sedang melakukan mini tur pameran karya seni pahat nya di ballroom atas. Hahaha. ” cerocos ayah dari anak kecil bernama Dawud itu dengan semangat.

“Benar. Sesuatu yang indah akan terlihat indah di mata penikmatnya” sambung sang istri sambil mengelus pelan ukiran piguraku. 

“Dan, boleh dipercepat proses administrasinya? Anakku terlihat sudah tidak sabar untuk menyambut anggota keluarga baru” ujar wanita itu lagi dengan jenis senyum yang kurindukan.

Beberapa saat aku merasa bingung dan tidak bisa menangkap dengan jernih apa yang benar-benar terjadi. Namun setelah melihat kembali dua bola mata bulat yang melihatku dengan tulus sedaritadi, aku pun spontan mengerti apa yang akan terjadi setelah ini.

“Inikah.. awal yang baru? Musim semi ku?” gumamku sambil berdebar-debar.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

“Wawww…”

“Wah ternyata lebih indah lagi daripada yang terlihat di televisi”

“Minggir, minggir.. Kau dan pigura besar mu itu menghalangiku dari melihat Hayaah. Gantian doong!”

“Hei tenang. Kalian tidak lihat Hayaah Nampak kebingungan? Sambut dengan elegan!”

“Halo cantik~ Yuk kenalan”

Dan banyak lagi komentar yang tidak sempat kudengar semua. Tepat setelah aku menginjak ke kediaman tuan Husein dan nyonya Humairoh, aku mendapat sambutan yang sangat meriah bertubi-tubi – baik dari para lukisan maupun dari anggota keluarga manusia lainnya. Aku yang sudah lama tidak terbiasa dengan perlakuan ini pun hanya bisa terbengong-bengong. 

“Dawud, jangan dipeluk saja dong Hayaah nya. Letakkan Hayaah bersama lukisan-lukisan indah lainnya di ruang tengah. Hayaah pasti senang akhirnya berkumpul dengan sesama temannya.” Ujar nyonya Humairoh. Dawud pun mengangguk setuju dan membawaku secara hati-hati. Aku takjub bagaimana tangan kecilnya dan badan mungilnya begitu sigap dalam meletakkan diriku di posisi dinding yang agak tinggi.

Setelah aku benar-benar menempati posisiku dengan sempurna, spontan para lukisan yang lain menghujaniku pujian. Mereka mengatakan betapa aku sangat indah. Betapa warnaku terlihat sungguh tulus. Aku hanya bisa termangu. “Ma.. maaf?” ucapku pelan terbata-bata.

“Ya? Ada apa, Hayyah?” jawab mereka nyaris bersamaan.

Walau ragu, namun aku memberanikan diri untuk bertanya “Apa benar aku… indah?”

Seluruh lukisan itu pun tertawa secara harmonis sekali seakan-akan sudah direncanakan. Namun tawa mereka kali ini berbeda daripada yang sering kudengar di kediaman tuan Thomas maupun galeri Scultura. Tawa yang kali ini seakan merangkulku, bukan mengusirku pergi.

“Tentu saja. Kamu sangat indah. Bagaimana mungkin kamu bisa meragukan hal itu?” tanya salah satu dari mereka.

Aku yang masih terheran-heran pun menceritakan perjalananku dan apa yang kualami semenjak keluar dari pameran lukis ayah.

Air wajah mereka sontak berubah pilu dan bahkan ada beberapa dari mereka yang menahan isak tangis – mengingatkanku pada saudaraku, Damai, yang sangat kurindukan. 

Salah satu lukisan yang terlihat senior di antara lainnya pun angkat bicara “Nak, perjalananmu yang panjang itu kini menemukan pelabuhan sempurnanya. Kesabaran dan harapanmu pun kini terlah terbayar.”

“Pelabuhan.. sempurna?” tanyaku

“Jangan dengarkan apa kata orang-orang atau barang-barang lain yang bahkan tidak mengerti mengenai nilai kita, Nak. Mereka yang tidak mengerti dan tidak berusaha untuk mengerti, tidak akan pernah bisa melihat keindahan kita, bagaimana pun kamu berusaha meyakinkan mereka. Di sini, adalah tempatmu, Hayaah.”

“Hei, kamu itu indah sekali! Ah aku rasanya ingin menghajar tuan yang bernama Thomas itu dengan pigura kayu Jati ku ini” teriak salah satu lukisan bergambar pepohonan rindang dari baris belakang yang diikuti gelak tawa lukisan lain.

Emosi yang selama ini kutahan pun meluap dan aku berterima kasih berkali-kali pada mereka.  

Hangat. Di sini hangat sekali. “Ayah, aku bertahan. Aku yakin. Ini musim semi ku.” ucapku pelan sambil tersenyum lebar menatap keluarga baruku dengan sukacita.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

“Hayaah, terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Maafkan ayah, kamu harus mengalami perjalanan begitu panjang di saat kamu baru mengenal dunia.”

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, tidak percaya pada apa yang aku lihat di hadapanku.

Pria paruh baya berbaret biru aqua yang air wajahnya nampak lebih lelah dan gusar dari biasanya itu menatapku dengan kesedihan. 

“AYAH? Benar-benar ayah?!” pekikku kaget setelah selesai mencermati wajahnya.

“Saya berterima kasih banyak pada tuan Husein yang telah memberi rumah yang hangat untuk Hayaah” ucapnya kemudian sembari menghadap ke arah tuan Husein dan istrinya.

“Justru kami yang beruntung bisa menjadikan Hayaah sebagai bagian dari keluarga kami.” balas nyonya Humairoh dengan santun. “Oh, sebenarnya apa yang terjadi pada Hayaah? Bagaimana bisa Hayaah berada di Scultura O Angelo? Apakah mungkin Tuan mengetahuinya?” tanya nyonya Humairoh .

“Ah, itu. Ada salah seorang pelelang yang tidak bertanggung jawab dan tidak berkomitmen pada lukisan yang ia telah beli. Ia hanya mengikuti pelelangan dengan motif menjalin koneksi dengan peserta lain dan memperoleh status sosial yang entah apa.” terlihat jelas semburat amarah yang muncul dari air wajah ayah saat menceritakan itu. 

“Beliau mungkin tidak mengetahui bahwa manajemen kami selalu rutin melakukan kunjungan 6 bulan sekali kepada setiap pembeli lukisan di pameran amal kami. Kami akhirnya mengetahui bahwa Hayaah justru diperjual belikan pada galeri seni lain yang bahkan tidak terfokus pada bidang seni lukis. Bagi kami, setiap karya yang kami lelang itu berharga dan kami berharap para pelelang tidak memperlakukan mereka sewenang-wenang. Itu adalah komitmen awal yang harus dimiliki para peserta lelang. Nampaknya ada celah dalam sistem seleksi peserta lelang pada tahun ini sehingga... Hhh…” ayah pun menarik nafas dengan berat.

“Kami mengerti. Tidak apa-apa, tuan Adlan. Pasti hal ini sangat membuat Anda terpukul” ucap tuan Husein menenangkan.

“Sekali lagi, saya berterima kasih kepada tuan Husein, karena akhirnya Hayaah menemukan keluarga barunya yang tulus menghargainya karena dirinya.” kemudian ayah melanjutkan “Sehubungan dengan ini, kami pun ingin memberikan sertifikat kepemilikan Hayaah secara resmi atas nama tuan Husein. Kami sudah mencoret nama pemilik Hayaah yang sebelumnya dari basis data kami dan seluruh rekan kerja kami secara nasional dan global. Donasi dari lelang amal pun otomatis dibuat atas nama tuan Husein.”

Tuan Husein dan nyonya Humairoh pun mengangguk paham.

“Kami, selaku tim manajemen memang akan memeriksa setiap enam bulan sekali dengan tujuan menyambung komunikasi dengan para pelelang  dan memastikan bahwa karya kami, anak-anak kami, tidak jatuh pada pihak yang tidak peduli. Jika suatu saat pihak pembeli merasa tidak mampu merawat lukisan kami lagi karena satu dan lain hal, kita bisa membicarakannya bersama jika pihak pembeli ingin menjual kembali lukisannya pada kami.” terang ayah pada tuan Husein, setelah emosinya berangsur stabil.

“Tenang tuan. Kami akan merawat Hayaah, dan saudara-saudaranya yang lain dengan baik di sini” jawab Dawud yang mendadak bergabung ke dalam percakapan. Mata bulat Dawud memancarkan keyakinan, ketegasan dan ketulusan. Tidak pernah berubah sejak hari pertamu aku melihatnya.

Ayah tersenyum manis dan menyiratkan kelegaan. Ia pun menoleh sebentar ke arahku “Kehidupan yang menarik, bukan? Kini adalah musimmu, Hayaah. Ingat, hiduplah dengan sepenuhnya” ucap ayah untuk terakhir kalinya sebelum ia pamit kepada tuan Husein dan nyonya Humairoh.


“Terima kasih, ayah” balasku, tersenyum.