Halaman

Rabu, 16 September 2020

Bersambung

Ilustrasi : Mima Uasha | Referensi Ilustrasi : 예꾸꾸yegguggu
Cerita : Dewi Emillia


“Nic, bukannya kamu terbang ke Gorontalo hari ini, ya? Udah mau malam begini kok belum balik?” tanya Meta sambil melirik jam tangannya.

“Iya, Mbak. Penerbangan aku jam 9 malam, kok. Cengkareng kan ngga terlalu jauh dari sini dan tinggal langsung ke bandara aja. Mau maghrib di kantor dulu. Nanggung hehe” jawab Nicho sembari menyunggingkan senyuman berlesung pipi nya yang khas.

Draft artikel nya kirim ke email aja ya, Nic. Biar nanti aku edit dan rapiin” sambung Bagas yang baru saja kembali dari gerai kopi di lantai dasar gedung.

“Siap, Mas. Aku udah kirim kok. Mohon maaf merepotkan” jawab Nicho dengan rasa bersalah yang kemudian ditanggapi Bagas dengan memukul pundak Nicho pelan. “Kayak baru kenal kemarin aja sih kita. Kamu berhak liburan sejenak, Nic.” balas Bagas lagi menenangkan Nicho.

“Balik ke Jakarta kapan, Nic?” tanya Roni yang tiba-tiba datang meramaikan. “Oh, kirain udah pulang, Ron. Senin depan udah masuk kantor lagi, kok. Kita bisa liputan bareng lagi. Santai.” jawab Nicho sambil terkekeh.

Roni nampak berpikir beberapa saat “Lho, cuma lima hari dong di gorontalo nya? Hari ini kan selasa nih, ya ngga dianggap lah ya, soalnya paling mendarat di gorontalo nya besok dini hari.”

“Iya. Lima hari udah cukup kok, insya Allah.” balas Nicho sambil bersiap merapikan ransel dan barang-barangnya. Ia mengumpulkan catatan wawancara dan beberapa lembar kertas yang berserakan di meja dan memasukkannya ke dalam laci bersama peralatan tulis lain. Saat Nicho tengah membersihkan mejanya dengan lap basah dan lap kering secara bergantian, Andre yang datang untuk menemui Nicho pun menyeletuk “Sekalian, Nic, mejaku juga”. Nicho pun nyengir dan berpura-pura mau melempar lap basah pada senior sekaligus sahabatnya itu.

“Duh, pembuat onar datang” ledek Meta sambil merapikan rambut bob sebahunya.

“Pembuat onar yang ngangenin, kan? Iya, paham, kok.” balas Andre yang kemudian kembali fokus pada Nicho “Nih tiketnya, tuan muda. Detail reservasi hotel udah kukirim di email ya. Hotelmu udah ada fasilitas antar jemput bandara nya kok. Besok dini hari kamu ngga akan kayak anak ayam kehilangan induk. Pemandu lokalnya namanya Pak Subekti. Nanti kukirim kontaknya.”  Nicho mengangguk tersenyum riang sambil tertawa kecil “Makasih banyak kuliah singkatnya, mas Andre”.

“Pekerjaan sampingan Mas Andre sekarang teh jadi sekretaris pribadi Nicho toh?” celetuk Roni.

“Hey, solidaritas antar sahabat ini namanya. Percuma dong pengalaman bertahun-tahun mengurusi akomodasi dan transportasi perjalanan liputan kalian ke luar, kalau ngga bisa dimanfaatkan untuk bantu tuan muda Nicho tersayang.” jawab Andre yang diiringi ekspresi pura-pura mual dari Meta.

“Oh iya aku udah kasih daftar tempat yang mau kamu kunjungi ke pemandu lokalnya. Kalau nanti ada tambahan destinasi bilang aja ke Pak Subekti. Dia fleksibel kok, ramah pula.” jelas Andre diikuti anggukan Nicho. Andre menatap Nicho beberapa lama lalu berkata “Kamu yakin nih ngga pergi ke wisata laut olele? Agak lebih jauh dari lokasi lainnya sih memang, tapi indah lho. Populer juga nih destinasi ini untuk para wisatawan. Atau botubarani? Bisa silaturahmi sama ikan hiu paus. Jaraknya mirip lah sama embung dumati.”

Nicho hanya tertawa ringan “Yakin, mas. Dua tempat itu ngga masuk di daftar hehe. Lain kali aja. Lagipula tujuanku bukan buat pergi ke tempat populer, kan. Hanya untuk… liburan”. Nicho mengakhiri jawabannya dengan seulas senyum tipis yang langsung dimengerti oleh Andre.

“Nicho, hati-hati di jalan ya. Sampai bertemu senin depan.” ucap sebuah suara dari arah balik punggung Nicho. Nicho pun menoleh ke sumber suara dan spontan berdiri dari kursinya “Oh, malam bu Martha. Hehe iya, terima kasih.”

“Bu bos kok masih di kantor?” tanya Andre yang dibalas dengan nada sarkastik “Tadi karaokean dulu di ruang meeting sama para pimpinan. Kenapa? Next time kamu mau ikut?”.

“Terima kasih penawarannya. Saya meeting sama atasan saya yang ini aja” balas Andre humoris sambil menunjuk ke arah Meta yang tertawa terkekeh-kekeh.

“Pamer kemesraan terus! Pamit pulang ya, gengs.” sahut Roni yang tiba-tiba sudah rapi dengan tas selempangnya.

“Oh, bareng Ron. Sekalian shalat terus langsung keluar kantor.” ucap Nicho yang segera menggendong tas ransel besarnya.

“Nic” sela bu Martha, “Semoga perjalananmu menyenangkan, aman, dan menenangkan.”

Nicho menatap bu Martha yang sudah ia anggap seperti ibu keduanya lalu tersenyum dengan mengangguk mantap “Aamiin. Insya Allah, Bu”.

Nicho dan Roni pun pamit undur diri dan meninggalkan ruang kantor. Mata Andre sibuk memperhatikan meja Nicho yang ditinggalkan dalam keadaan rapi dan bersih. “Sahabat kita yang satu ini memang selalu hidup dengan benar, ya. Kalau aku cuti kayaknya ngga kepikiran buat rapiin meja kerja seniat Nicho. Atau sebenarnya kepikiran tapi malas aja hahaha.” ucap Andre. “Itu mah kamu aja, Mas” celetuk Meta yang sudah beres dengan riasan wajahnya dan siap menuju destinasi berikutnya dengan sang suami – Andre.

Andre tertawa kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari meja Nicho. Nampak beberapa buku mengenai jurnalistik dan sastra dideretkan secara berurutan dengan bantuan penyangga buku. Di sudut meja, terdapat lemari plastik kecil untuk meletakkan peralatan tulis. Tanaman bunga artifisal mini pun turut memperindah tatanan mejanya. Di sisi komputernya, bertengger pigura foto dengan potret dua orang pria dan dua orang wanita yang mengenakan seragam lapangan untuk liputan. Andre tersenyum dan menunjuk ke arah foto itu “Aku ganteng ya di foto ini”. Meta hanya bisa melirik suaminya sambil menggeleng-gelengkan kepala heran. “Rambut kamu masih panjang di sini” lanjut Andre.

Bu Martha yang kembali berjalan melewati area meja Nicho pun ikut melihat foto itu dan tersenyum “Jangan kelamaan nostalgia. Istrimu kelihatan sudah lapar, tuh”.

Andre tersenyum dan mengangguk “Iya, sepertinya memang sudah saatnya melangkah maju. Ibu juga ya.” jawab Andre dengan lembut. “… Ibu juga jangan lupa makan.” sahut Andre lagi yang diiringi tawa penuh pemahaman di antara mereka.

Para karyawan pun satu per satu pulang dan kembali beristirahat di tempat ternyaman mereka masing-masing.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Nicho berjalan menuju bangkunya yang berada di dekat jendela. Setelah memastikan bahwa ia sudah berada di nomor bangku yang tepat, ia pun duduk dan menyenderkan kepalanya sejenak. Ia memejamkan matanya untuk beberapa saat sebelum ia terduduk tegak kembali. Ia menoleh ke arah jendela dan bergumam “Gelap”. Ia nampak memikirkan banyak hal walau yang ia lihat hanyalah hitamnya langit malam. Tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya cepat untuk menghentikan lamunannya.

Perlahan, ia mengeluarkan sebuah buku bersampul kulit sintetis warna biru telur asin dari ranselnya. Pada pojok kiri bawah, tertempel cutting sticker berbentuk huruf ’N’ kapital berwarna coklat kayu. Nicho membuka halaman terakhir yang berisi tulisan. Matanya menatap lekat catatan yang ditulis pada halaman itu. Meski ia sudah membacanya berkali-kali, ia mengulanginya lagi. Judul catatan itu bertuliskan ’Enam Keajaiban Serambi Madinah’. Catatan ini berisi tentang destinasi wisata yang ingin dikunjungi di Gorontalo selama lima hari. Nicho melafalkan kalimat pada setiap poin satu-persatu dengan pelan sambil menguatkan diri untuk tersenyum.

Nicho kembali melirik ke arah jendela setelah pesawat mengudara cukup lama. Pemandangan yang disuguhkan masih berupa hitamnya malam. Nicho tertawa lemah dan bergumam sambil tetap menatap keluar jendela “Jadi ini bangku yang kamu sukai?”

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Nicho tengah tertidur lelap di kamar penginapannya sebelum alarm pada telepon genggamnya membangunkannya. Tangan Nicho meraih telepon genggam dengan pelan dan mendapati jam menunjukkan pukul 10 pagi. Ia membolak balikkan badannya ke kanan dan ke kiri di atas kasur sebelum mulai beranjak untuk bersiap melanjutkan perjalanan hari pertamanya di Gorontalo.

“Assalamu’alaikum” ucap Nicho saat mengangkat panggilan dari salah satu kontaknya yang ia namai ‘Pak Subekti Tour Guide’.  “Iya benar, saya Nicho, Pak. Nanti bapak ke hotel jam 11 saja ya. Mas Andre sudah menyampaikan agenda saya kan, Pak? Jadwalnya insya Allah sama seperti yang sudah diberikan oleh Mas Andre kok hehe. Setelah ini kita langsung ke tempat makan rekomendasi pak Subekti saja” lanjut Nicho sambil membongkar ranselnya untuk mengambil pakaian dan barang-barang yang ia perlukan.

“Iya, Pak. Nanti kita bertemu di lobby hotel. Oh, saya pakai baju flanel biru tua hehe.” ucap Nicho yang kemudian mengakhiri percakapan setelah pak Subekti memahami waktu dan lokasi pertemuan “Baik. Terima kasih, Pak.”

Usai Nicho selesai membersihkan diri dan merapikan barang-barang di ruang kamarnya, ia meraih tas selempang kecilnya dan tak lupa, Nicho menggantungkan kamera kesayangannya di leher. Ia pun bergegas turun menuju lobby. Tepat jam 11, Nicho sampai di lobby dan segera menemukan pak Subekti yang melambaikan tangan ke arahnya. Nicho tersenyum dan menuju mobil pemandunya.

“Selamat siang, mas Nicho” sapa pak Subekti dengan ramah saat Nicho telah masuk ke dalam mobil. “Siang, pak Subekti” jawab Nicho tersenyum sambil lagi-lagi memamerkan lesung pipinya.

“Mas Nicho baru pertama kali ke Gorontalo?” tanya Pak Subekti membuka obrolan. “Iya, Pak hehe” balas Nicho.

“Mau ada liputan kah mas di sini?” lanjut pak Subekti yang segera dibalas Nicho sambil tertawa “Engga atuh, Pak. Saya pergi liburan aja. Kabur sejenak dari pekerjaan hehe”.

“Bagus, bagus. Memang harus begitu, Mas. Seimbang antara pekerjaan dan hiburan supaya ngga stress, ya”. Pak Subekti kembali fokus kepada jalanan dan setelah beberapa waktu, mereka tiba di restoran rekomendasi Pak Subekti.

“Mas, destinasi hari ini berarti ke masjid Agung Baiturrahim, taman kota gorontalo dan taman lahilote, nih?” tanya pak Subekti lagi untuk mengonfirmasi.

“Iya benar, Pak. Saya akan menetap sementara di masjid sampai ashar. Kita ke tamannya jam 4 sore ya, Pak.” jawab Nicho. “Oke, siap mas. Mas Andre sudah menjelaskan rinci seperti yang mas Nicho sampaikan sih. Saya cuma takut salah saja hehe. Soalnya biasanya para turis kasih daftar destinasi yang banyak untuk satu hari ke saya. Makanya agak bingung lihat daftar lokasi yang mas Nicho tulis, terkhusus di hari pertama ini haha. Ketiga lokasinya pun dekat dengan penginapan semua.” balas Pak Subekti lagi sambil bersiap menyantap hidangan di depan matanya.

“Hahaha. Saya memang tidak terlalu suka capek, Pak. Jadi jalan-jalan secukupnya saja. Hemat energi.” jawab Nicho dengan bercanda yang diiringi tawa pak Subekti.   

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Nicho masih khidmat mengamati masjid Agung Baiturrahim – salah satu bangunan masjid tua yang dibangun di daerah Gorontalo – sebelum pak Subekti datang dan membuyarkan lamunannya.

“Bagaimana mas Nicho? Nyaman beribadahnya?” tanya pak Subekti. “Oh? Iya, Pak. Cepat juga pak Subekti sampainya hehe” jawab Nicho sedikit terkaget.

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju taman Lahilote sembari pak Subekti menceritakan sejarah mengenai masjid Agung Baiturrahim. Nampak jelas bahwa pak Subekti menaruh perhatian mendalam pada Gorontalo dan kisah di balik tiap lokasi bersejarahnya. Nicho menikmati setiap penjelasan pak Subekti sambil sesekali bertukar kisah dan lelucon.

Setibanya di taman lahilote, Nicho berjalan pelan menyusuri taman sambil menghirup udara sore yang segar dan memutuskan berhenti dan duduk pada salah satu bangku di taman. Nicho pun melakukan salah satu hal favoritnya, yaitu mengobservasi lingkungan. Ia melihat beberapa anak kecil berlarian dan tertawa riang. Tak jauh dari tempatnya duduk, terlihat sepasang muda mudi tengah berjalan berdampingan sembari mengajak hewan peliharaan mereka jalan sore. Beberapa kelompok berpakaian olahraga pun terlihat sedang bersiap untuk lari sore mengelilingi area sekitar taman. Nicho tersenyum.

“Mas terlihat senang. Syukurlah. Saya tadi sempat khawatir kalau mas Nicho bosan” jawab pak Subekti yang akhirnya ikut bergabung duduk.

Nicho pun tertawa dan menjelaskan “Saya lebih suka pergi ke taman seperti ini, Pak daripada tempat wisata yang ramai dan banyak wahananya. Saya suka duduk ditemani angin sepoi-sepoi dan pemandangan pepohonan. Saya yakin saya bisa duduk diam di sini berjam-jam tanpa merasa bosan.”

Pak Subekti mengangguk-angguk berusaha memahami “Ya ngga apa-apa. Yang penting mas Nicho nya suka. Soalnya ngga banyak yang betah dengan cuma duduk di taman hahaha”.

Nicho tertawa dan menyetujui pendapat pak Subekti.

“Ya. Dia pun sama. Tipe yang mudah bosan jika hanya pergi ke taman dan duduk diam. Namun, dia memilih tempat ini pasti karena memikirkanku.” ucap Nicho dalam hati sambil tersenyum tipis.

Setelah mendekati maghrib, mereka beranjak menuju taman kota Gorontalo. Nicho dan Pak Subekti mampir ke masjid di sekitar area taman terlebih dulu sebelum melanjutkan eksplorasinya di taman kota.

Taman kota Gorontalo di malam hari tetap terlihat indah dan asri. Setelah berkeliling beberapa putaran dan puas mengabadikan foto lokasi walau dengan penerangan yang minim, Nicho pun mengajak pak Subekti untuk makan malam dan mengakhiri perjalanan untuk hari ini.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Nicho telah bersiap ke atas kasur sebelum ia menyadari ada hal yang perlu ia lakukan sebelum tidur. Nicho menghampiri meja kayu di pojok kamar dan meraih buku catatan bersampul biru telur asin. Ia membuka catatan terakhir pada buku itu dan memberi tanda centang pada poin nomor satu.

“Perjalanan pertama, done!  Mari kita lanjutkan perjalanan ini dengan lebih bersemangat di esok hari ya” ucap Nicho sambil melirik lukisan jendela pesawat yang menjadi wallpaper telepon genggam nya dan tersenyum simpul.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Nicho bangun pagi-pagi sekali dan memulai aktivitas olahraga paginya menuju taman lahilote. Ia meregangkan tubuh dan berlari dengan semangat.

Setelah puas mengitari taman lahilote, Nicho kembali mengunjungi taman kota gorontalo untuk melihat suasananya di pagi hari. Nicho menatap langit yang cerah dan lagi-lagi memikirkan banyak hal. Saat dia tengah asik menyusuri taman, telepon genggamnya berdering. Saat Nicho memeriksanya, ia tertawa melihat pesan teks dari sahabatnya – Andre.

“Jangan lupa pulang ya, Nic.” yang kemudian disusul dengan pesan berikutnya, “Sehat-sehat di sana. Kami menunggumu di sini”.

Nicho tertawa sambil geleng-geleng kepala “Mereka sekhawatir ini ya?”.

Nicho pun duduk di bawah pohon rimbun dan menikmati keindahan tiap helai daun dan ranting pohon. Matanya lurus menatap pepohonan namun pikirannya memutar reka ulang keadaan dirinya beberapa bulan ke belakang. Tangannya mendadak menggenggam erat telepon genggamnya serta menatap layar nya dan bergumam sambil tertawa lemah “Ya, benar sih. Memang mengkhawatirkan. Wajar saja ya mereka begini”.

Menjelang jam delapan pagi, Nicho telah kembali ke penginapan dan bersiap untuk melanjutkan wisatanya pada jam sembilan. Salah satu dari banyak hal yang Nicho sukai dari pak Subekti adalah ia tepat waktu. Tepat jam sembilan, Nicho mendapati kehadiran pak Subekti yang telah tiba di lobby hotel.

“Selamat pagi, Mas Nicho” sapa pak Subekti dengan ramah dan semangat. Nicho hanya tertawa gembira melihatnya. Melihat karakter pak Subekti pada hari lalu, Nicho yakin bahwa Andre tidak sembarang memilih pemandu. Andre memilih orang dengan karakter yang membuat Nicho paling nyaman – tepat waktu, berpengalaman, humoris, ramah namun tetap tau kapan waktu untuk memberi ruang pribadi. Nicho tersenyum membayangkan ia selalu dikelilingi oleh orang-orang yang peduli padanya.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Nicho mengedipkan mata takjub saat melihat pintu masuk benteng otanaha. Ia bisa melihat dari kejauhan medan yang akan ia tempuh nanti untuk mencapai puncak benteng. Pak Subekti yang melihat ekspresi Nicho tertawa “Gimana mas Nicho? Mau ubah rencana ngga? Mau tetap naik tangga? Atau lewat jalur cepat naik mobil?”

Nicho nyengir dan memantapkan diri. “Insya Allah tetap lanjut naik tangga, pak. Saya ada misi soalnya.” jawab Nicho sambil tertawa jenaka.

“Oh? Misi apa tuh mas kalau boleh tau?” tanya Pak Subekti penasaran.

Nicho tersenyum geli sambil memamerkan giginya yang rapi “Saya mau hitung anak tangga nya, Pak”. Mendengar itu, pak Subekti tertawa terbahak-bahak. “Misi yang menarik. Bagus, Mas. Menjalankan misi sekaligus menyehatkan badan ya.” Nicho dan pak Subekti pun berpisah sementara. Nicho melanjutkan perjalanannya menapaki tangga demi tangga, sementara pak Subekti melaju menuju parkiran yang terletak tepat di bawah benteng utama.

Nicho sangat puas melihat pepohonan yang berada di sisi tangga. Ia hampir kehilangan fokus dalam menghitung anak tangga karena sibuk mengagumi langit dan alam sekitar.

“Waw banyak juga tangganya” gumamnya sambil tertawa sendiri dan terus melanjutkan penghitungan. Setelah beberapa waktu, ia mulai terbiasa dalam membagi konsentrasi antara menghitung anak tangga dan memerhatikan sekeliling.

“Hati-hati sayang. Jangan berlari-lari. Pelan-pelan saja ya agar tidak jatuh” ucap seorang pria dewasa pada seorang anak perempuan kecil yang sepertinya adalah putrinya. Wanita dewasa di sebelahnya tertawa riang sambil merangkul suaminya. Nicho berhenti sejenak, berusaha merekam kehangatan keluarga kecil tersebut di ingatannya. Ia tersenyum tipis sambil mendoakan keluarga tersebut di dalam hati.

Setelah keluarga kecil tersebut agak jauh dari pandangannya, Nicho tetap berdiam diri dan menepi. Ia berusaha memperhatikan pepohonan di sekelilingnya untuk mengalihkan pikirannya dari yang tidak boleh ia pikirkan. Angin bertiup lembut dan kembali membuat Nicho merasa nyaman. Nicho tersenyum lagi, lebih ikhlas, dan kembali melangkah maju.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

“Selamat datang di benteng Otanaha” sambut pak Subekti kala Nicho mencapai puncak benteng. Nicho tertawa geli melihat tingkah pak Subekti.

“Sebelum Anda bisa menjelajahi benteng otanaha dan menikmati pemandangannya, Anda harus menyetor jawaban terlebih dulu” ucap pak Subekti yang melanjutkan bermain peran.

“Hahaha. Pertanyaannya apa?” tanya Nicho mengikuti alur.

“Berapakah jumlah anak tangga yang telah Anda naiki untuk sampai ke benteng otanaha ini?” tanya pak Subekti lagi dengan lagak serius.

Air wajah Nicho pun menjadi cerah mendengarnya dan menjawab penuh semangat seperti anak kecil “Ah! Eh sebentar.. Mmm..  Dari bawah ke persinggahan pertama, ada 52 anak tangga. Lalu, ke persinggahan kedua, 83 anak tangga. Ke persinggahan ketiga, 53 anak tangga. Ke persinggahan keempat, 89 anak tangga. Terakhir, ada 71 anak tangga!” jawab Nicho antusias tidak sabar untuk menginjakkan kaki sepenuhnya di benteng otanaha.

“Silahkan menjelajahi benteng sepuas hati Anda” balas pak Subekti dan menyingkirkan badannya yang menghalangi jalan Nicho.

“Apa Bapak ngga ada rencana masuk tim lenong?” ucap Nicho sambil tertawa kecil.

“Sayangnya saya bukan orang betawi, Mas” jawab pak Subekti dengan wajah berpura-pura sedih.

Nicho hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala dan bergumam “Kenapa aku merasa pergi dengan mas Andre versi tua?”

Saat Nicho sibuk mengamati batu-batu penyusun benteng, pak Subekti berjalan dan memulai tugasnya sebagai pemandu. “Batu-batu yang menjadi material utama untuk membangun benteng ini direkatkan dengan putih telur burung Maleo yang merupakan burung endemik Sulawesi, lho.”

Nicho menunjukkan ekspresi kagum saat mendengar informasi tersebut. Pak Subekti pun melanjutkan penjelasan sejarah singkat mengenai benteng otanaha dan perjuangan masyarakat Gorontalo melawan Portugis.

“Benteng utama ini namanya benteng otanaha. Dua benteng lainnya di sana adalah Otahiya dan Ulupahu.” rangkum pak Subekti sambil menunjuk ke dua benteng lain dan mengakhiri penjelasannya.

“Oh, ini benteng pertahanan toh. Keren” ucap Nicho sambil lagi-lagi berdecak kagum.

“Hey benteng, kamu sudah bekerja sangat keras. Terima kasih.” ucap Nicho lagi sambil menepuk-nepuk salah satu dinding benteng dengan bangga.

Setelah menjelajahi sudut lain, ia memandang jauh dan melihat danau limboto di hadapan benteng otanaha. Ia ternganga dan teringat salah satu agenda pada buku catatan “Ah, berfoto dengan latar belakang danau limboto!”

“Pak, maaf tolong foto saya ya” pinta Nicho sambil menyerahkan kameranya pada pak Subekti yang segera disambut dengan sigap.

Nicho berdiri santai di tepi dinding benteng dan memegang telepon genggamnya dengan tangan kanannya sambil menghadapkan layarnya ke arah kamera. Layar telepon genggam tersebut memamerkan gambar lukisan jendela pesawat dengan pemandangan malam hari.

Pak Subekti sedikit terheran dan bertanya “Layar HP nya juga perlu terlihat jelas, Mas?”

“Kalau bisa sih iya, Pak. Kameranya tidak usah terlalu jauh saja, tapi diusahakan masih ada pemandangan danau nya hehehe. Ribet ya? Maaf ya, Pak” ucap Nicho yang mendadak merasa merepotkan.

“Ini pertama kalinya mas Nicho minta tolong foto, ngga ada repotnya sama sekali mas. Seiring pengalaman saya menjadi pemandu wisata selama belasan tahun, sekarang saya cukup multitasking kok. Jangankan fotografer, saya bahkan pernah kerja ganda sekaligus jadi baby sitter selama memandu.” jawab Pak Subekti dengan jenaka.

Nicho tertawa dan mengangguk puas sambil mengacungkan ibu jarinya. Ia pun kembali dengan pose nya serta mendekatkan layar telepon genggamnya ke arah wajahnya dan menyunggingkan senyuman khas berlesung pipinya.

“Apa Mas ngga ada rencana masuk agensi model?” tanya pak Subekti sambil mengamati hasil jepretannya.

Nicho tertawa nyengir sambil mengernyitkan alisnya. “Bagaimana pak hasilnya?” tanya Nicho yang berjalan mendekati pak Subekti untuk melihat hasilnya.

“Waw. Proporsi fotonya bagus. Pas sesuai dengan seperti yang saya mau. Wooow!” ujar Nicho bersemangat sambil bertepuk tangan meriah. “Kan sudah saya bilang. Saya multitasking” balas pak Subekti bergurau.

“Gambar itu spesial ya buat mas Nicho?” tanya pak Subekti lagi. Nicho terkaget “Kenapa bapak menyimpulkan begitu?”

“Memangnya ada ya orang yang mau foto sama wallpaper HP kalau itu bukan gambar yang spesial buat mereka?” ujar pak Subekti dengan pertanyaan retorisnya yang membuat mereka berdua tertawa.

“Iya, spesial” jawab Nicho pada akhirnya. Pak Subekti mengangguk-angguk. “Orang terdekat saya yang buat, Pak” jawab Nicho lagi sambil tersenyum.

Nicho dan pak Subekti kemudian melanjutkan obrolan mengenai danau limboto serta benteng Otanaha dan sesekali membantu pengunjung lain yang ingin mengambil potret kelompok bersama. Menjelang dzuhur, mereka berdua turun dari benteng untuk beribadah dan makan siang. Selepas ashar, Nicho yang masih belum puas menjelajahi Otanaha pun kembali ke Otanaha dan membiarkan dirinya tenggelam dalam pemandangan indah dari atas benteng. Pukul setengah enam sore, Nicho dan pak Subekti telah masuk ke dalam kendaraan dan siap mengakhiri perjalanan di hari kedua.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

“Menghitung anak tangga di benteng Otanaha dan berfoto dengan latar danau limboto. Done.” gumam Nicho lagi sambil memberi centang pada catatan poin kedua. Sebelum tidur, ia menyempatkan membuka galeri untuk melihat foto yang ia ambil hari ini. Malam itu, Nicho tertidur cukup pulas.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Pada hari ketiga, Nicho mengunjungi destinasi pertamanya setelah shalat jumat usai dan setelah makan siang. Kali ini pak Subekti mengantarnya ke ruang terbuka hijau (RTH) Taruna Remaja yang menjadi salah satu lambang ikonik kota Gorontalo. Setelah dipugar oleh pemerintah setempat, lapangan taruna remaja nampak semakin indah dan menjadi tempat wisata sejarah yang menarik, bahkan untuk para warga lokal.

“Di Lapangan taruna remaja ini, terdapat monumen Nani Wartabone sebagai bentuk apresiasi atas jasa beliau dalam membela gorontalo dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.” jelas pak Subekti sambil menunjuk ke arah patung Nani Wartabone yang diiringi anggukan Nicho.

“Oh, itu kendaraan apa?” tanya Nicho sambil menunjuk ke arah dua kendaraan di sisi patung Nani Wartabone. “Oh itu adalah dua alat utama sistem pertahanan milik TNI Angkatan Darat. Satu unit tank FV601 dan satu panser AMX 13 APC” jawab pak Subekti.

“Woah.. Cool” gumam Nicho yang segera beraksi dengan kameranya. Nicho nampak bersemangat saat membidik objek fotonya. Seiring Nicho yang mengelilingi lapangan Taruna Remaja dengan sesekali memotret, pak Subekti melanjutkan kisah mengenai Nani Wartabone yang memiliki nama asli Abdul Kadir Wartabone. Nicho melanjutkan aktivitasnya dengan tetap mendengarkan cerita pak Subekti dengan khidmat. Sejarah selalu menarik bagi Nicho. Masa lalu memang bukan untuk dilupakan, namun untuk dipelajari dan dihargai.  Itu yang Nicho percaya.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Usai puas berkeliling di lapangan taruna remaja hinga menjelang maghrib, Nicho dan pak Subekti bersiap pergi ke tempat ibadah sekaligus tempat makan malam. Tak lupa, mereka pun mampir ke mini market untuk mempersiapkan ketersediaan makanan sebagai bekal Nicho untuk destinasi keduanya – Bukit layang.

Bukit layang yang berada di kelurahan Siendeng, kecamatan Hulonthalangi, kota Gorontalo ini berada di atas ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Lokasinya yang berada di dataran tinggi menjadi lokasi strategis untuk melihat Gorontalo secara lebih luas. Tempat wisata ini pun populer sebagai tempat berkemah untuk menikmati terbitnya matahari di pagi hari. Berkemah dan menikmati matahari terbit di bukit layang adalah salah satu aktivitas yang dituliskan pada catatan di buku yang Nicho bawa.   

Setibanya di bukit layangan, nampak sudah ada beberapa kelompok yang mendirikan tenda. Setelah menemukan lokasi yang pas, Nicho pun mulai mendirikan tenda dengan bantuan pak Subekti. Berkat kecekatan mereka berdua, tenda pun berdiri tegak dalam waktu singkat.

“Yak. Bagian dalam tenda sudah rapi. Ransel beserta makanan pun sudah dimasukkan ke dalam tenda. Kalau begitu saya pamit undur diri dulu ya, Mas Nicho.” ucap pak Subekti yang segera disusul oleh anggukan Nicho. “Hati-hati di jalan, Pak”.

Nicho masuk ke dalam tenda untuk berbaring dan menutupi diri dengan selimut. Ia membuka tutup tendanya dan memandangi langit malam. Ia pun menikmati suara tawa dari kelompok lain yang turut memasang tenda di sekitarnya. Suasana begitu sejuk dan keadaan semakin terasa hidup dengan keberadaan para wisatawan lain.  Malam terasa cepat berlalu dan Nicho tertidur dengan nyenyak.

Nicho telah terjaga beberapa waktu sebelum shubuh. Ia mempersiapkan dirinya untuk beribadah dan kemudian ia bergegas keluar tenda mencari ‘bangku paling depan’ agar bisa menikmati pemandangan matahari terbit dari posisi terbaik.

Waktu menuju matahari terbit sudah semakin dekat. Suasana semakin ramai dikelilingi oleh pekemah lainnya. Perlahan, matahari mulai menampakkan diri. Nicho menatap lekat-lekat proses terbitnya matahari hingga ia naik dan mencerahkan langit. “Masya Allah”, gumam Nicho.

Usai menyaksikan prosesi sakral terbitnya matahari, dimulailah sesi swafoto. Nicho yang pada dasarnya tidak kesulitan dalam bersosialisasi dengan orang baru pun berbaur dengan pekemah lain. Ada yang lebih muda, sebaya dan bahkan ada yang lebih tua daripada Nicho. Meski Nicho tergolong orang yang menggemari keheningan, namun ia juga suka bila berkenalan dengan banyak orang baru. Pagi ini begitu menyegarkan bagi Nicho.

Nicho yang akan segera dijemput oleh pak Subekti dalam waktu 30 menit pun segera merapikan barang dan tendanya setelah pamit dari teman-teman barunya. Sebelum ia membongkar tenda, ia kembali membuka buku catatan bersampul biru telur asin. Nicho pun memberi centang pada poin nomor tiga dengan senyuman tulus.

Pak Subekti tiba tepat setelah Nicho beres melipat tendanya. Sebelum Nicho mengikuti pak Subekti ke arah mobil, ia mendongakkan kepalanya ke langit dan bergumam “Terima kasih. Tempat ini indah sekali”. Nicho pun kembali melanjutkan perjalanan.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Nicho mencari sudut yang tepat untuk memotret papan tanda masuk wisata embung dumati. Setelah puas pada hasilnya, ia masuk ke dalam kawasan wisata. Udara pagi yang sejuk membuat suasana di embung dumati semakin nyaman. Pemandangan pegunungan dan pepohonan yang mengelilingi danau buatan sangat memanjakan mata.

Nicho menikmati apa yang ia lihat. Sesekali, ia mendapati anak-anak kecil yang saling bersenda gurau dengan temannya. Ada beberapa lokasi yang memiliki spot foto yang disediakan oleh pengelola tempat wisata. Beberapa pasangan dan kelompok keluarga menunggu gilirannya untuk mengabadikan momen mereka di spot-spot tersebut.

“Mohon maaf, saya duduk menunggu di sini saja ya Mas. Saya suka pusing kalau naik perahu mengambang di air.” ucap pak Subekti agak berat hati karena merasa tidak enak.

“Tidak apa-apa, Pak. Kalau begitu saya mau coba naik perahu nya langsung ya” jawab Nicho yang segera melangkah menuju tempat penyewaan perahu. Walau Nicho telah datang cukup pagi, namun ia tetap perlu menunggu gilirannya karena masih ada beberapa antrean di depannya.

Setelah tiba gilirannya, ia pun menaiki perahu dengan semangat bersama salah seorang bapak paruh baya yang akan mengendalikan perahunya. Pengunjung diajak mengitari danau buatan yang kemudian diantarkan menuju tempat peristirahatan terapung. Di tempat peristirahatan ini, pengunjung bisa leluasa duduk bersantai ataupun berswafoto mengabadikan momen di atas air. Nicho memejamkan matanya saat perahu mulai berjalan. Ia menghayati angin yang bertiup sepoi-sepoi dan gerakan perahu yang bergoyang teratur.Usai menghayati gerakan perahu dan sentuhan angin, Nicho segera kembali mengangkat senjata andalannya, yaitu kamera. Ia telah berhasil menangkap beberapa citra embung dumati dengan sudut yang pas berkat perjalananya di atas perahu dan saat ia berada di tempat peristirahatan terapung.

Nicho kembali menjelajah wilayah sekitar embung dumati sesampainya ia kembali di daratan. Ia berjalan kesana kemari sambil terus mengagumi pepohonan rindang yang mengelilingi area danau. Menjelang dzuhur, ia akhirnya mendatangi pak Subekti sebagai sinyal untuk kembali pulang ke penginapan.

“Hari ini tidak mau ke tempat lain, Mas? Ke embung dumati saja?” tanya pak Subekti lagi berusaha mengubah pikiran Nicho.

“Yakin, Pak. Setelah ini jadwalnya adalah free style. Saya memilih untuk berjalan kaki di area sekitar penginapan saja atau mungkin akan mengunjungi area taman lahilote” jawab Nicho.“

“Hahaha. Baiklah kalau memang mas Nicho yakin. Kita bertemu besok pagi untuk berburu oleh-oleh saja berarti, ya?” tanya pak Subekti lagi. “Tepat sekali” ucap Nicho sambil mengacungi jempol.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Setibanya di hotel pasca makan siang, Nicho merebahkan diri untuk mengisi energi sebelum ia kembali menjelajah di sore hari. Nicho sesaat menatap langit-langit kamar dengan lekat. Ia akhirnya menyadari bahwa esok hari adalah hari terakhir di Gorontalo. Perjalanannya hampir mencapai akhir.

Nicho perlahan beranjak dari kasur dan meraih buku catatan yang terletak di atas meja. Nicho kembali duduk di atas kasur dan segera memberi tanda centang untuk poin nomor empat. Nicho membaca ulang catatan pada halaman tersebut. Tatapan matanya melembut. Ia pun menutup buku tersebut dan perlahan tertidur dengan senyuman di bibir.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

“Bagaimana, Mas agenda free style nya kemarin?” tanya pak Subekti kala Nicho memasuki mobilnya. Nicho merespon dengan ramah seperti biasa dan menceritakan perjalanannya di area sekitar penginapan malam hari. “Saya lihat bintang, Pak” ucap Nicho sambil tersenyum yang disambut dengan tawa khas pak Subekti.

Setelah beberapa lama berkendara, akhirnya pak Subekti menepi pada suatu kawasan perbelanjaan yang terlihat sudah mulai sibuk di pagi hari. Nicho dan pak subekti menyusuri jalan hingga tiba di sebuah toko yang menjual kerajinan kain karawo dan upiya karanji – atau dikenal juga sebagai kopiah keranjang – yang merupakan kerajinan khas Gorontalo. Segera usai membeli beberapa kain, kopiah dan pakaian, pak Subekti dan Nicho pun menuju lapangan taruna remaja. Pada pagi hari ini, di lapangan Taruna Remaja Gorontalo akan ada perayaan satu tahun lahirnya Gorontalo Germas Community (GGC) beserta pencanangan kegiatan Gorontalo Karnaval Karawo 2019 yang akan diadakan pada awal Oktober.

Suasana sudah cukup ramai ketika Nicho dan pak Subekti tiba di taruna remaja. Mereka menyaksikan rangkaian acara sambil mencicipi jajanan di pinggir lapangan.

“Coba mas Nicho ke Gorontalonya Rabu besok ini, bisa sekalian ke Gorontalo Karnaval Karawo nya” celetuk pak Subekti. Nicho tertawa dan membalas dengan jenaka sambil berpura-pura berbisik “Jadwal saya padat, Pak”. Mereka berdua pun hanya tertawa dan lanjut mengomentari rangkaian acara di taruna remaja.

Sebelum Nicho kembali ke penginapannya dan bersiap ke bandara, pak Subekti mengantarkannya terlebih dulu ke toko pia saronde serta makan siang bersama. Di sela-sela makan siang, Nicho mengeluarkan buku catatan bersampul biru telur asin dan memberi centang pada poin kelima sambil bergumam “Membeli oleh-oleh kain karawo, upiya karanji, pia saronde. Done!”.

Nicho menatap poin keenam dan berusaha tersenyum, lalu memasukkan buku itu kembali ke dalam tasnya.

Setibanya di penginapan, Nicho dan pak Subekti mengobrol kembali di ruang tunggu hotel. “Penerbangannya jam 6 malam, mas Nicho?” tanya pak Subekti. “Oh, iya. Jam 6 kurang sih lebih tepatnya. Saya berangkat jam 4 sore dari hotel cukup kan ya, Pak?” tanya Nicho yang segera dijawab dengan yakin oleh pak Subekti “Cukup, Mas.”

Menjelang pak Subekti pamit undur diri, Nicho menyodorkan amplop putih untuk pak Subekti. Pak subekti mengernyitkan alis “Ini apa, Mas? Jasa saya sudah dibayar lunas sama mas Andre di awal kok”. Nicho tersenyum jenaka “Uang saku, Pak”. Sebelum pak Subekti mengutarakan ketidak enakkannya, Nicho segera menyela “Anggap dari anak sendiri saja, Pak. Haha. Ngga banyak kok”. “Bagaimana ceritanya saya bisa punya anak setampan mas Nicho?” jawab pak Subekti yang mengundang tawa Nicho untuk kesekian kalinya. Pak Subekti menatap Nicho dengan perhatian lalu berkata “Oke. Bapak terima ya, Nak. Terima kasih banyak” jawab pak Subekti lagi dengan nada lembut seorang ayah pada anaknya. Nicho kembali tertawa geli. Sesaat pak Subekti sempat ragu sebelum akhirnya angkat bicara “Kita ayah dan anak kan sekarang?”. Nicho hanya mengangguk sambil tertawa. “Ayah senang melihat senyumanmu semakin tulus seiring hari berlalu di sini”. Nicho terkaget dan menatap pak Subekti bingung. Pak Subekti pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal “Saya tidak bermaksud lancang. Mas Nicho anak yang baik dan menyenangkan. Mas juga ramah dan selalu tersenyum. Namun, saat pertama kali melihat mas Nicho, yang tersenyum hanya bibir mas saja. Mata mas terlihat.. hmm.. seperti berkelana? Memikirkan hal lain yang sepertinya masih belum bisa diingat sambil tersenyum” jelas pak Subekti lagi yang membuat Nicho semakin terdiam.

Setelah melihat ekspresi Nicho, pak Subekti pun melanjutkan “Orang baik juga boleh punya masa lalu kok mas”. Nicho tertawa pelan “Kalau ngga punya masa lalu, ya ngga hidup dong namanya”. “Iya, benar itu. Masa lalu membuat kita hidup menjadi sekarang” balas pak Subekti. Nicho tersenyum dan mengangguk paham.

“Jika memang ada yang perlu disedihkan, silahkan bersedih. Boleh menangis. Setelah selesai, kita bisa memilih untuk tersenyum lagi. Dengan lapang”. Nicho hanya tertegun, tidak menyangka akan mendengar ini dari orang yang baru ia kenal, namun ia tidak merasa terganggu, justru ada perasaan tenang.

“Apakah saya sekarang sudah terdengar seperti bapak-bapak tua yang sok mengetahui isi dunia, Mas?” canda pak Subekti mencairkan suasana.  Nicho pun tertawa renyah “Sudah mirip seperti ayah saya”.  

“Enaknya jadi manusia, kehidupan kita udah ada yang mengatur dan mengawasi. Ngga akan melenceng, asal kita ngga cari jalan tikus aja, Mas. Tugas kita cukup melakukan yang terbaik dengan apa yang ada sekarang. Walau tidak mudah.”  ucap pak Subekti lagi yang kemudian disambung oleh Nicho “.. tapi insya Allah bisa. Iya kan?”. Pak Subekti mengangguk tersenyum dan mereka saling mengucap salam perpisahan. “Sampai bertemu lagi”.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Nicho berjalan menuju bangkunya yang berada di dekat jendela. Setelah memastikan bahwa ia sudah berada di nomor bangku yang tepat, ia pun duduk dan menyenderkan kepalanya sejenak. Ia memejamkan matanya untuk beberapa saat sebelum ia terduduk tegak kembali. Ia menoleh ke arah jendela dan bergumam “Cantiknya”. Ia terus menikmati pemandangan di luar jendela walau yang ia lihat hanyalah hitamnya langit malam. Begitu banyak hal yang ia perlu syukuri dan Nicho bertekad untuk bertahan.

Perlahan, ia mengeluarkan sebuah buku bersampul kulit sintetis warna biru telur asin dari ranselnya. Pada pojok kiri bawah, tertempel cutting sticker berbentuk huruf ’N’ kapital berwarna coklat kayu. Nicho membuka halaman terakhir yang berisi tulisan. Matanya menatap lekat catatan yang ditulis pada halaman itu. Lima dari enam poin telah diberi centang selama perjalanan lima harinya di Gorontalo. Ia melafalkan kalimat pada poin keenam perlahan dengan mulut yang bergetar. Mata Nicho mulai berkaca-kaca dan ia tak kuasa lagi membendung air mata. “Ini tangisku terakhir. Setelah ini, hanya akan ada senyuman yang lapang ” janji Nicho dalam hati sambil terisak.

Nicho kembali melirik ke arah jendela setelah pesawat mengudara cukup lama. Seiring pesawat yang sudah mulai mendekati daratan, hitamnya malam mulai dihiasi oleh sinar lampu bangunan di daratan.  Nicho menatap takjub pemandangan di luar jendela tersebut “Masya Allah”.  Ia pun bergumam lagi dengan tersenyum tulus “Jadi ini bangku yang kamu sukai? Seleramu memang bagus”.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Bel rumah kediaman Bapak Wiharja berbunyi di sabtu pagi yang cerah.

“Ayah, Nicho sudah sampai!” ucap bu Erina setengah berteriak memanggil suaminya, sambil bergegas membenarkan pakaian dan mengenakan kerudung. 

Pak Wiharja yang mendengar itu pun segera keluar dan menyambut kedatangan Nicho. “Assalamu’alaikum, om Wiharja” sapa Nicho lembut. Air wajah pak Wiharja begitu cerah melihat kondisi Nicho yang terlihat lebih stabil dibandingkan saat terakhir kali pak Wiharja melihatnya enam bulan yang lalu.

“Mohon maaf, saya baru bisa silaturahmi ke sini sekarang” ucap Nicho merasa bersalah. “Kamu ngomong apa, toh Nic? Walau kamu badannya ngga di sini, tapi kamu hampir tiap hari telepon mengecek keadaan Om sama Tante, kan” ucap bu Erina yang turut keluar menyambut Nicho. Pak Wiharja menepuk pundak Nicho dengan lembut “Kami senang kamu datang”. Nicho tersenyum.

Di dalam rumah, Rio – anak laki laki berusia 10 tahun dan berambut mangkuk – beserta Riri – saudara kembar Rio yang mengenakan terusan bunga dan kerudung berwarna senada– berlari riang menyambut kedatangan Nicho “Mas Nichooo”.

“Wah ada kue!” teriak Rio tanpa basa-basi saat melihat bungkusan pia saronde yang dijinjing oleh Nicho. Nicho tertawa dan segera menyerahkan oleh-olehnya pada sang ksatria kecil yang semakin bertumbuh dewasa itu.  Nicho pun kemudian menyerahkan tas oleh-oleh lain yang berisi kain karawo, upiya karanji dan pakaian dengan sulaman karawo yang khas. “Ya ampun, banyak sekali, nak Nicho. Repot-repot deh.” ucap bu Erina saat melihat isi tas nya. “Iya. Kok repot-repot. Kenapa ngga beli saja tokonya sekalian lalu dibawa ke sini, Nak?” gurau pak Wiharja. Mereka tertawa.

“Oh iya, ayah dan ibu Nicho titip salam ke om dan tante. Mendadak, mereka ada panggilan dinas sabtu ini. Sepertinya ada sedikit masalah lapangan. Insya Allah ayah dan ibu mau ke sini besok minggu jika om dan tante tidak sibuk” ucap Nicho yang disambut dengan ekspresi senang bu Erina “Salam juga untuk ayah dan ibumu. Mau datang besok? Boleh dooong. Tante juga kangen sama ibumu. Ya walau bulan lalu baru ketemuan sih di pengajian, tapi tetap kangen” jawab bu Erina sambil tertawa geli.

Bunyi pagar di luar terdengar dibuka tergesa-gesa saat seorang pria berpostur tinggi mengenali mobil yang terparkir di depan rumah kediaman Bapak Wiharja. Ia pun masuk ke dalam rumah dengan cepat. “Mas Nichooo!” teriak Neo girang saat ia melihat Nicho. Nicho tersenyum sumringah melihat kedatangan Neo.

“Assalamu’alaikum nya mana, mas Neo?” celetuk Riri sambil asik menyantap pia saronde yang diikuti tawa renyah oleh semua orang di ruangan.

“Assalamu’alaikum Riri adikku yang shalehah. Masya Allah” jawab Neo sambil meledek dan mencubit gemas pipi Riri. Rio dan Riri bergantian menyalami kakak laki-lakinya itu. Selanjutnya Neo menyalami kedua orang tuanya dan mas Nicho. Neo menatap Nicho dengan bahagia dan kemudian kembali bergurau dengan gaya jenakanya yang khas “Kemana aja sih, Mas? Ke Zimbabwe?”. Nicho hanya bisa tertawa di hadapan Neo. Karakter ceria dan blak-blakan nya Neo mirip dengan kepribadian mendiang kakak perempuannya – Nayla.

Nicho pun disuguhi berbagai hidangan bak tamu spesial kenegaraan. Setelah mengobrol beberapa lama, saling bertukar cerita dan kabar, Neo dengan berat hati beranjak menuju kampus karena terlanjur memiliki janji untuk mengajar tim basket junior di kampusnya untuk kejuaraan.

“Tolong bimbing yang benar ya, pak pelatih. Jangan makan gaji buta” gurau Nicho. Sebelum benar-benar pergi, Neo berbalik badan lagi dan melotot pada Nicho sambil melontarkan komplain sekaligus seakan menagih hutang “Jangan kabur-kabur lagi lho ya! Mas Nicho kan bukan kriminal. Pokoknya harus main basket bareng lagi ya. Sampai ketemu lagi secepatnya. Insya Allah”. Setelah melambaikan tangan dengan riang, Neo pun pamit pergi. Nicho mengedip-ngedipkan mata beberapa saat, kaget, lalu tertawa.

Nicho merasa sangat nyaman bisa kembali hadir di lingkungan yang ia selalu rindukan. Selepas Neo pergi, Nicho terus mengobrol dengan keluarga pak Wiharja mengenai perjalanannya di Gorontalo dan kondisi kantor. Ia pun menyampaikan salam dari Andre, Meta dan bu Martha.

“Ah, bu Martha. Bagaimana keadaan beliau sekarang?” tanya bu Erina khawatir. “Ah betul. Kondisi bu Martha sama parahnya seperti kamu saat mendengar berita mengenai Nayla. Kami berharap bu Martha tidak terus menyalahkan dirinya sendiri.” tambah pak Wiharja.

Nicho memandang bu Erina dan pak Wiharja dengan kagum. “Saya jadi malu” jawab Nicho pelan. “Om  dan tante pasti juga merasa kehilangan yang sangat besar. Namun saya justru lebih lemah dibandingkan om dan tante”.  ucap Nicho tertunduk.

“Rasa sedih setiap orang itu adalah hak orang itu sendiri. Bukan hanya keluarga kandung Nayla yang berhak merasa kehilangan atau berduka. Rasa sedih mu dan bu Martha, bukan hal yang memalukan, Nicho.” jawab pak Wiharja sambil lagi-lagi menepuk bahu Nicho dengan lembut.

Sebelum Nicho pamit pulang, ia mengeluarkan buku bersampul kulit sintetis warna biru telur asin dari tasnya. “Ini… buku Nayla. Waktu itu Nayla memberikannya pada saya saat ia mau menunjukkan rencana bulan madu kami di Gorontalo” ucap Nicho pelan. Ibu Erina pun teringat pada suatu hal dan segera mohon izin masuk ke dalam kamarnya sebentar.

Setelah bu Erina kembali, ia menyodorkan amplop biru telur asin berbalut pita merah muda dan tertera tulisan ‘Untuk Nicho (aka calon suami Nayla)’. “Tante melihat surat ini telah disiapkan Nayla jauh-jauh hari sebelum ia berangkat melaksanakan liputannya yang terakhir, Nic. Surat ini untukmu. Dan tante juga minta tolong agar kamu mau menyimpan buku Nayla bersamamu. Nayla pasti lebih senang seperti itu” ujar bu Erina penuh kasih sayang.  Nicho terbengong melihat surat itu dan menerimanya. Lagi, Nicho merasakan sedih. Namun kali ini rasa sedih itu tidak melemahkannya, namun menguatkannya. Nicho mengangguk mantap dan berjanji akan menyimpan buku serta surat Nayla dengan baik.

Saat Nicho bersiap memasuki mobil, pak Wiharja mendekatinya lagi dan berbicara “Kecelakaan yang terjadi pada Nayla saat ia liputan bukanlah salahmu Nicho. Nayla yang memutuskan untuk mengambil tugas liputanmu di hari itu juga sepenuhnya bukan salahmu. Ia melakukannya karena ia menyukai liputan tersebut. Kamu pasti lebih mengerti semangatnya Nayla terhadap jurnalistik dibanding Om. Bahkan bisa dibilang, dia setengah memaksamu kala itu. Lebih penting lagi, semua itu kehendak-Nya, Nic. Walaupun Nayla hanya berdiam di rumah hari itu, jika itu memang hari yang ditetapkan baginya, ia tetap akan meninggalkan kita”.

Mata Nicho kembali berkaca-kaca dan ia mengangguk sambil tertunduk dan berbicara lirih “Maaf dan terima kasih”. Pak Wiharja merangkul tubuh Nicho yang sedikit bergetar dan menepuk pundaknya untuk memberi kekuatan.

Sumber kekuatan itu sesungguhnya tidak pernah hilang, bagi mereka yang tidak menyerah untuk mencarinya. Dan kini, akhirnya, Nicho kembali menemukannya.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Nicho menyusuri pemakaman dan tiba di depan salah satu makam. Nicho menatap lekat batu nisan yang bertuliskan ‘Nayla Ramadhini binti Wiharja Karya’. Ia berdiri di tepi kuburan dan berbicara lembut “Assalamu’alaikum. Maaf aku baru datang lagi, Nay”. Nicho pun menghadapkan diri ke arah kiblat dan memanjatkan doa untuk Nayla.

Nicho bercerita sedikit mengenai perjalanannya di Gorontalo dan teman barunya, pak Subekti. “Oh, ternyata bangku pesawat di sebelah jendela serta pemandangannya di malam hari memang indah. Maaf sempat meragukanmu” ujar Nicho sambil tersenyum.

“Mengenai catatan enam keajaiban serambi madinah mu, aku melanjutkannya semampuku. Poin keenam, bukanlah kuasaku. Aku tidak akan meminta maaf untuk itu.” lanjut Nicho lagi. Masih ada sedikit sakit yang terasa tiap ia mengingat poin nomor enam pada catatan tersebut.

‘ #6 : Pergi berlibur ke Gorontalo lagi dengan suami (Nicho) bersama Nicho x Nayla junior, jika Allah memberi rezeki dan mengizinkan’

Nicho mencukupkan ziarahnya dan berbicara “Nayla, aku akan terus hidup dengan baik semaksimal mungkin hingga kelak tiba waktuku untuk bertemu sang Pencipta kita juga. Aku akan selalu mengingat kenanganmu dan kenangan kita dengan senyuman, yang tidak setengah”.

Nicho pun kembali pulang dan melanjutkan hidupnya.

Minggu, 30 Agustus 2020

Pertanyaan

 

Ilustrasi : Mima Uasha | Referensi Ilustrasi : 케일리[KAYLEE ARTravel]
Cerita : Dewi Emillia


“SUDAH SAMPAAAI! Akhirnya!~” pekik Sandra – wanita berambut bob coklat kemerahan – bersemangat saat melihat papan kayu bertuliskan ‘Taman Az Zahra’.

Please, ngga usah mendadak teriak kalau ngga mau gue tabrakin ini mobil ke papan kayu itu” protes Laras, gadis Jawa – yang telah meresapi gaya anak perkotaan terlalu dalam – berambut hitam lurus sepinggang dengan tahilalat manis yang menghiasi sudut bibirnya.

“Coba mana coba? Tabrakin cobaaa” tantang Sandra sambil terkekeh-kekeh yang disusul oleh pelototan murka Laras.

Sinta menghela nafas mendalam, “Din, coba bacain surat apa gitu biar mereka akur. Ayat kursi kek, apa kek.” ujar Sinta sambil membenarkan jaket jeans nya yang melorot.

Diniyah menggelengkan kepalanya berat, “Sudah tidak ada harapan untuk mereka”. Tawa Sandra semakin kencang.

“Laras, orang waras mengalah” ucap Tasya – wanita bertubuh semampai yang mengenakan baju terusan pink, hijab motif bunga berwarna coklat susu.

“Kalau orang waras mengalah terus kerjaannya, nanti yang ambil alih posisi penting di segala lini jadi orang kayak gini semua” balas Laras sambil memberi isyarat kode gerakan jari telunjuk miring di depan dahi nya, usai ia mematikan mesin mobil. Empat orang lainnya pun tertawa kencang melihat ekspresi Laras.

“San, kita bisa langsung ke villa nya dulu, kan?” tanya Tasya sembari mengeluarkan tas-tas dari mobil dan mendistribusikannya satu persatu ke pemiliknya.

“Yep! Tinggal taro barang di kamar terus kita jalan-jalan deh~” balas Sandra sambil merangkul Laras, memastikan kalau mereka telah berdamai.

“Udah mau dzuhur, nanti shalat dulu lho ya” ujar Diniyah setelah mengecek jam di arloji bertali kulitnya.

“Iya mamah Dini” jawab Sandra, Laras dan Tasya serempak.

“Aku engga lho, ya” balas Sinta jenaka, yang kemudian ditimpali oleh Diniyah “Kalau mau coba dulu juga boleh. Siapatau tertarik untuk melanjutkan kelak”. Mereka pun tertawa sembari menyusuri koridor dengan pilar putih kokoh yang dikelilingi salur dedaunan menuju kawasan villa.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Sandra masih sibuk mencari posisi dan sudut yang tepat untuk mengambil potret pondok kayu yang akan mereka tempati sebelum ia diseret paksa oleh Sinta menuju destinasi berikutnya.

“Kenapa deh kok buru-buru?” protes Sandra sambil menepuk kotoran pada kulot berwarna pastelnya.

“Nyonya lapar berat” jawab Sinta sambil menunjuk ke arah Tasya.

“Astaga! Situasi genting berarti! Kenapa kita jalan?! Ayo lari! Kalau perlu naik jet kita ke resto! Go go go go!” balas Sandra berpura-pura histeris dan mulai berlari-lari kecil.

“Sya, kalau butuh preman bayaran buat gebukin Sandra, kabari gue aja. Biar gue yang melakukan pekerjaan kotor itu.” sahut Laras yang disambut oleh tawa renyah Tasya.

“Kenapa sih harus pakai kekerasan, mbak Laras? Why?” tanya Sandra sok memelas.

Seketika, Diniyah memegang kepala Sandra dan melantunkan ayat kursi.

“HEH! DIKIRA GUE SETAN?!” ujar Sandra kaget. Laras tertawa dan tepuk tangan dengan sangat bahagia.

“Wah itu tuh, Resto floral nya” ucap Sinta menyadarkan kelompoknya akan tujuan utama mereka.

“Masya Allah. Suka deh interior kayu di segala furniturnya. Lampion kayunya cantik” balas Diniyah terkagum-kagum saat memasuki resto Floral.

“Komplek wisata Taman Az-Zahra ini paket komplit banget sih emang, ya. Penginapan ada, kebun bunga ada, tempat outbound ada, kolam renang indoor ada, mini market ada, resto pun ada. Bahkan resto Floral ini menawarkan beragam masakan dari berbagai tempat. Japanese, Chinese, Western, Indonesia. Wah..” puji Tasya sembari membuka-buka katalog menu makanan dengan semangat.

Sandra baru membuka mulut untuk berbicara sebelum disela oleh Laras “Jangan tanya apakah di sini ada jodoh atau tidak. Klise. Cari lelucon yang lain.”

Sinta terkekeh melihat muka cemberut Sandra yang gagal melucu.

Setelah memesan makanan di lantai dasar dan diantar menuju meja pilihan mereka, lima sekawan itu hanya diam, khidmat menatap pemandangan dari lantai paling atas resto Floral yang menghadap langsung ke pegunungan. Mereka ditemani oleh angin semilir yang sejuk dan kicau burung yang berbaur dengan lantunan musik dari resto.

“Makan di teras atas sini emang lebih asik ya daripada di dalam ruangan ber-AC” ucap Laras memecah keheningan. Tak lama kemudian, pramusaji pun datang dan menyuguhkan hidangan makanan yang telah dipesan.

Sinta tertawa kecil “Mata Tasya bersinar paling cerah saat lihat makanan, ya”. Tasya pun hanya tersenyum lebar hingga menampakkan giginya.

“Eh, parade bunga nya dimulai jam berapa sih?” tanya Sinta. Sandra – sang inisiator liburan kali ini – pun menimpali setelah melirik contekan jadwal di telepon genggam nya “Kisaran jam 5 sore dimulai. Kita tetep harus stand by sih karena pengunjungnya pasti ramai. Wajarlah ya, soalnya acara sekali setahun.”

“Nanti kita mau ke kebun bunga setelah makan?” tanya Laras.

“Nanti aja deh. Kita perginya abis ashar aja. Kalau dari sekarang jalan-jalan di kebun bunganya, nanti energi keburu abis duluan. Kita kan mau ngikut parade sampai larut, toh. Kebun bunga nya pas malam pasti bagus. Nanti ada lampu cantiknya gitu”. sahut Sandra.

“Kita mau ngapain dong sambil nunggu parade?” tanya Laras lagi.

“San, kasih ide dong. Ide lo biasanya cemerlang” celetuk Sandra ke Sinta. Sinta pun mengernyitkan alis dan pasang pose berpikir. “Ah!” seru Sinta tiba-tiba.

“Main permainan kita yang biasa aja. Main ‘Teka-teki mamah Dini’ ” jawab Sinta girang. Diniyah pun menghela nafas “Aku lagi yang jadi tumbalnya.”

“Hahaha. Boleh deh. Walau gue ngga ngerti kenapa kita ngga bosen-bosen main kuis ini. Padahal pertanyaan juga acak, jawabannya apa lagi.” sahut Sandra menyetujui.

“Ya karena ngga jelas itu makanya kita suka” sambung Tasya setelah asik menyeruput kuah soto mie.

“Heran, ya. Orang waras terus-terusan mengalah. Hal yang ngga jelas, malah disukai. Apa yang salah sih pada kehidupan ini?” sahut Laras sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Sssttt.. yang boleh melempar pertanyaan di sini cuma Diniyah” protes Sandra.

“Sesi kuis-kuisannya setelah kita semua selesai makan ya, anak-anak. Mamah mau cari ilham dulu” balas Diniyah pasrah mengikuti permintaan sahabat-sahabatnya itu.

“Oke, mamah Dini” jawab Sandra, Laras, Sinta dan Tasya serempak yang kemudian disusul oleh khidmatnya mereka menyantap hidangan di hadapan mereka. Sesekali mereka saling mengobrol kecil dan tertawa atau saling menangkap citra satu sama lain dengan pose andalan masing-masing.

Setelah menuntaskan makanan dengan lahap, air wajah lima sekawan – kecuali Diniyah – terlihat berbinar menanti pertanyaan yang akan diajukan Diniyah.

Diniyah menahan senyum melihat ekspresi sahabatnya yang seperti anak kecil menunggu didongengkan ibunya sebelum tidur. Diniyah pun berdeham dan merapikan letak kerudungnya agar simetris “Oke. Kita akan mulai ‘Teka-teki mamah Dini’. Sekarang.. juga!” ucap Diniyah sambil mengetuk sendok ke piring agak kencang sebanyak tiga kali dengan serius.

Melihat wajah para ‘anak kecil’ yang fokus, Diniyah pun melanjutkan pertanyaannya “Apa fungsi dari bunga?”

“Eheeeeyyy!” pekik Sandra, Laras, Sinta dan Tasya dengan nada protes secara kompak.

“Sejak kapan ‘Teka-teki Mamah Dini’ berubah jadi olimpiade Biologi?” tanya Sinta heran.

Diniyah pun tertawa kecil mendengarnya. “Kalian lupa aturan ‘Teka-teki Mamah Dini’? Jawablah dengan sesuka hati. Simpulannya nanti kan urusanku”.

“Fungsi tuh gimana deh? Ya buat keseimbangan alam, lah” jawab Laras.

“Yaudah, kuganti pertanyaannya supaya tidak mengingatkan kalian pada Biologi. Dalam kehidupan sehari-hari kita, bunga bisa digunakan sebagai lambang apa? Apa yang biasanya orang-orang lakukan menggunakan bunga?” sahut Diniyah mengalah.

“Lambang cinta, dong!” sahut Sandra dengan menggebu-gebu. Ia pun spontan bertekuk lutut di hadapan Laras sambil seakan-akan menyodorkan bunga dan berkata dengan lembut “Will you marry, me, Prince Harry?

Laras menatap Sandra dengan manis “How much do you love me, Young Lady?

I will die for you, prince! I will give you my all!” balas Sandra meneruskan sandiwara dadakan.

Then, please die” jawab Laras sambil menyodorkan pisau steak nya ke depan muka Sandra.

“Astaghfirullah… Pisau lho itu, Ras” sahut Sandra yang terduduk lemas di lantai karena kaget.

“Hahaha elah, srimulat” celetuk Sinta.

Tasya menggeleng-gelengkan kepala ke arah Diniyah “Pertanyaan Mamah Dini hampir saja menumpahkan darah”.

“Bukan pertanyaanku yang salah, anak muda. Jiwa-jiwa mereka yang tersesat lah yang menggiring mereka pada malapetaka” jawab Diniyah membela diri.

“HAHAHAHAHA” tawa Sinta pun meledak sekali lagi.

“Lambang simpati” jawab Laras tanpa memedulikan sandiwara yang telah berlalu. “Kenapa, tuh?” tanya Diniyah.

“Hmm.. karena orang-orang terkadang memberikan buket bunga untuk orang yang baru sembuh dari sakit. Atau kadang memberi karangan bunga juga untuk keluarga dari seseorang yang meninggal dunia.” jelas Laras.

“Wah, jawaban yang bagus” ucap Sinta sambil bertepuk tangan kecil. Diniyah pun mengangguk-angguk.

“Aku mau coba jawab! Lambang penghormatan! Karena bunga-bunga indah biasa ditabur untuk mengenang jasa para pahlawan” jawab Sinta yang mendadak diikuti dengan senandung mengheningkan cipta oleh Sandra dan Laras. Diniyah terkekeh-kekeh melihat dua temannya yang selalu kompak di saat yang tepat. Diniyah mulai berpikir bahwa Sandra dan Laras harus benar-benar mengikuti audisi Srimulat.

“Tasya belum nih. Keliatan berpikir keras banget. Ngga lagi mikirin mau pesan tambahan makanan apa, kan, Sya?” ledek Sandra.

“Bunga itu….. lambang pengkhianatan?” jawab Tasya dengan agak ragu setelah berpikir beberapa saat.

Spontan, Sandra, Laras dan Sinta  langsung menatap Tasya lekat-lekat dengan rasa penasaran di wajah mereka. Diniyah pun tersenyum tipis, “Lanjut, Sya penjelasannya”.

“Berdasarkan pengamatan pada drama-drama di televisi, dan sepertinya juga sering terjadi di kehidupan nyata, banyak orang yang setelah berselingkuh, pulang kembali pada pasangannya dengan segudang hadiah, termasuk buket bunga yang sangat mewah dan cantik.” jawab Tasya lagi.

Tasya pun melirik sahabat-sahabatnya dan mendapati ekspresi mereka yang termangu beberapa lama.

“Bener juga ya..”celetuk Laras sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Oh my god. Otak gue yang polos dan suci ini mendadak sakit membayangkannya” sahut Sandra.

Diniyah justru nampak puas dengan jawaban yang ia dengar dari Tasya.

“Wah, mamah Dini tersenyum! Berarti jawaban Tasya adalah jawaban yang ia nanti-nanti!” seru Sinta sambil menunjuk ke arah Diniyah.

Diniyah pun tertawa “Hahaha. Apa sih? Jawabannya kan boleh bebas. Santai aja, dong”.

“Oh! Kalau gitu bunga juga bisa jadi lambang teror” sambung Laras.

“Waduh, kenapa lagi, nih?” tanya Sandra kesal mendengar lambang cintanya terus dipojokkan.

“Karena bom suka diselipkan di dalam tanaman atau karangan bunga, supaya ngga ketahuan”, jawab Laras.

“Astaghfirullah..” sahut Tasya.

“Bunga tidak akan pernah terlihat sama lagi setelah ini” gumam Sinta sambil menyeruput jus mangganya yang tersisa sedikit.

Diniyah pun tidak bisa menahan tawanya dan sibuk tertawa sambil menutupi mulutnya.

“Setelah ini apa nih, Mah? Masuk ke simpulan atau pertanyaan tambahan?” desak Sandra.

Diniyah pun menenangkan diri dan kembali ke mode serius “Kita masuk ke pertanyaan tambahan dulu, ya. Pertanyaan terakhir.”

Empat orang yang lain pun mengangguk dan kembali menyimak apa yang akan Diniyah sampaikan.

“Setelah tadi sahabat sekalian menjabarkan lambang dari bunga, bulatkan satu suara dan jawab : bunga itu sebenarnya baik atau jahat?” tanya Diniyah.

“Eheeeeyyy!” pekik Sandra, Laras, Sinta dan Tasya dengan nada protes untuk kedua kalinya. Diniyah pun kembali tertawa.

“Saat awal kuis, gue udah siap dengan pertanyaan aneh, tapi malah dikasih kuis biologi. Saat pertanyaan terakhir, gue udah menyiapkan mental dengan pertanyaan sains, malah dikasih pertanyaan yang ngajak berantem”, protes Sandra yang membuat tawa Diniyah semakin kencang.

“Tenang, kawan-kawan. Mari kita lalui semua kuis ini dengan lapang dada. Saatnya kita musyawarah untuk mencapai mufakat” ucap Tasya memberi komando. Keempat wanita itu pun membuat formasi lingkaran dengan saling merangkul bahu satu sama lain dan berdiskusi sambil berbisik.

Setelah beberapa lama berdebat, akhirnya mereka menyetujui satu jawaban. Diniyah yang melihat sahabat-sahabatnya bangkit dari pose melingkarnya pun merespon “Bagaimana? Sudah ada kata sepakat di antara kalian?”

Empat wanita itu pun mengangguk dan Tasya angkat bicara “Jawaban kami adalah bunga itu baik”.

Diniyah pun mengangguk dan Tasya melanjutkan pembicaraannya “Alasan kami adalah karena pada dasarnya, seluruh makhluk Allah itu diciptakan dalam keadaan baik.”

“Allahu akbar!” pekik Sandra menambahkan dengan semangat.

Diniyah pun tersenyum lebar sambil menutup mulutnya untuk menahan tawa “Jawaban yang bagus”.

“Jawaban Mamah Dini apa?” tanya Sinta.

Diniyah pun menjawab dengan wajah polos “Dua-duanya. Baik dan jahat”.

Keempat temannya menghela nafas dengan berat. “Sebaiknya Mamah memberikan simpulan yang menggugah jiwa kami ya, atau pisau steak nya Laras akan melayang-layang” gerutu Sandra yang membuat Diniyah tertawa lagi dan lagi.

“Boleh jawabnya via telepon aja, ngga? Aku menyingkir dulu ke pos satpam, untuk jaga-jaga.” celetuk Diniyah yang membuat lainnya tertawa.

“Ngga boleh ngga sopan sama Mamah Dini! Bagaimanapun menyebalkannya jawaban Mamah Dini, samsak tinjunya tetap kamu, kok San.” balas Laras yang membuat Sandra berekspresi pura-pura terkejut dan merasa tertindas.

“Kami siap dengan simpulannya, Mah!” pekik Sinta.

“Jawaban kalian beneran bagus kok, tapi tetap ada lanjutannya. Sayangnya, bunga itu bukan makhluk berakal. Makanya, mereka tidak bisa bebas memilih mau jadi baik atau jadi jahat” jelas Diniyah.

“Peran bunga sebagai baik atau jahat ditentukan oleh yang menggunakannya. Ya manusia. Kita, sebagai makhluk berakal. Tergantung niat manusia.” jawab Diniyah yang menjeda ucapannya sebelum akhirnya disambung kembali “Jika kita berniat jahat, maka kita bisa menggunakan bunga yang indah sebagai alat kejahatan. Jika kita berniat baik, kita bisa menggunakan bunga untuk menebar kemanfaatan. Dan ini tentu saja tidak berlaku hanya untuk bunga. Untuk semua hal lainnya juga. Yang paling populer sebagai pisau bermata dua misalnya adalah lisan. Tentu tau dong betapa berbahaya sekaligus ampuhnya lisan? Intinya, apapun berasal dari niat, anak muda. Jagalah dirimu dimulai dari membenarkan niatmu.” jawab Diniyah mengakhiri penjelasannya.

Keempat temannya pun menyambut akhiran simpulan dengan tepuk tangan yang meriah.

“Selalu diakhiri dengan ceramah yang lembut. As expected from Mamah Dini” ujar Laras.

“Udah mau jam tiga sore ih masa hahaha” tawa Sinta saat melirik ke jam pada telepon genggamnya.

“O ya? Waw.. Oke, kita harus bersiap-siap ke parade bunga. Sebelumnya ke villa dulu kali ya buat shalat? Lebih nyaman di sana shalatnya” balas Diniyah sambil merapikan piring kotor dan alat makan yang berantakan di meja.

“Siap, mamah Dini” jawab Tasya sambil ikut merapikan meja.

Sementara itu, Sandra masih terbengong-bengong dan kemudian menyeletuk “Ih, gue kebayang-bayang terus bunga sebagai lambang pengkhianatan. Jadi sebel deh sama bunga”.

Sinta tertawa terkekeh-kekeh, “Terus kayaknya kalau kita dapat buket bunga harus dicek juga apa ada bom nya atau engga”

Diniyah menggeleng-geleng kepala “Begini nih karakter manusia. Intisarinya apa, yang membekas di hati lain lagi.”

Laras pun tertawa “Sabar ya, Mah. Manusia memang lebih tertarik pada hal-hal yang dramatis dan imajinatif.”

“Tolong tetap berteman dengan kami ya, Mah” sahut Tasya menimpali.

Diniyah tersenyum “Yuk, ke Villa?”. Semua pun bangkit dari duduknya dan menuju lantai bawah untuk menyelesaikan pembayaran.

Setelah selesai melakukan pembayaran, pramusaji pria yang mengenakan dasi kupu-kupu dengan seragam necis pun menyodorkan 5 tangkai bunga cantik berwarna merah yang masing-masingnya dibungkus kertas krep, plastik bening dan pita kepada Sandra sebagai cinderamata khas dari resto Floral.

“Silahkan diambil, Mbak. Ini signature gift kami untuk para pengunjung resto” ucap sang pramusaji dengan ramah pada Sandra.

Sandra yang mewakili lima sekawan pun cuma bisa menatap bunga itu sambil terbengong-bengong dan kemudian menjawab “Kalau boleh tau, mas berniat baik atau berniat jahat ya?”

“HAHAHAHAHAHAHAHAHA” tawa Sinta, Laras, Tasya dan Diniyah pun meledak mendengarnya.

Setelah agak tenang, Tasya segera mengambil bunga-bunga tersebut dan berterima kasih. Ia pun menyeret teman-temannya – berikut Sandra yang masih terus berpikir apakah bunga itu aman – keluar dari resto dan menyisakan mas pramusaji yang kebingungan.


Jumat, 21 Agustus 2020

Hayaah


Ilustrasi : Mima Uasha | Referensi Ilustrasi : @kaylee_palette & Art AnĐinh
Cerita : Dewi Emillia

Wajah pria paruh baya yang mengenakan baret berwarna biru aqua di hadapanku ini penuh peluh, namun sorotan matanya tetap lurus dan tak bergeming. Ia menggoreskan kuasnya dengan sigap dan yakin pada tubuh kanvasku. Sudah beberapa hari kami bersama di tempat favoritnya – pojok ruang persegi panjang berukuran  6 x 3 meter, tepat di dekat jendela tinggi yang dibiarkan terbuka dan menyuguhkan pemandangan halaman yang asri. Angin sepoi-sepoi yang menelisik masuk ke ruangan tidak terlalu membantu pria ini mengusir buliran air di wajahnya, namun terlihat jelas ia merasa lebih nyaman.  Lantunan musik instrumental yang ia putar sedikit membantu meredam kegugupan di awal kedatanganku. 

“A.. Ad.. Adlan.. A.. i.. Aid.. Aidan. Ah, Adlan Aidan” gumamku yang akhirnya berhasil mengeja goresan nama pada kuas kayu sang pria yang kerap disebut ‘ayah’ ini. Lambat laun, aku mulai terbiasa dengan lingkungan baru, beserta sekumpulan kawan yang berwujud serupa denganku di sudut lain dalam ruangan.  Aku tidak sabar untuk bergabung dan mengobrol dengan mereka seperti yang mereka lakukan selama ini sambil memperhatikanku. “Apakah aku akan seindah mereka?” ucapku membatin sambil melirik ke arah mereka dan tersipu.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

“Hey, sudah berapa lama ini? Apa kita perlu begadang lagi untuk menyambut si kecil?” tanya Damai - lukisan bergambar perempuan kecil berambut kepang, berwajah bunga daisy yang tidur bersama merpati dan singa – setengah berbisik. 

“Sabar, Damai. Terakhir kali ayah membuatmu, kami terjaga seminggu di sini” jawab Cemani – lukisan dominan hitam legam dengan sapuan tipis samar putih bergambar tangan yang saling merangkul.

“Sepertinya sebentar lagi selesai. Aku hafal wajah pria tua itu. Lihat! Ia mulai menyunggingkan bibirnya puas dan alisnya sontak naik memamerkan kebanggaan. Itu adalah tanda-tanda kelahiran adik terakhir kita. Ya, kalau menggunakan bahasa manusia, mungkin sudah bukaan sembilan ya” celetuk Citra – lukisan bergambar sekumpulan potret hitam putih yang digantung horizontal sebagai jembatan antara dua figur setengah wajah yang tertutup buket bunga.

“Jaga bicaramu, Citra! Dia ayah kita.“ hardik Harmoni – lukisan bergambar Igloo dengan pekarangan yang dikelilingi berbagai tanaman dan bunga yang mengkristal.

“Dengarkan  Kak Harmoni tuh, kalau kamu ngga mau tubuh penuh potretmu itu tercerai berai ke barat dan timur. Hmm, kurasa ayah masih punya waktu untuk menggambar ulang satu lukisan lagi sebelum pameran dimulai. Kami sih tidak mengapa jika kamu keluar dari tim~ ” ujar Damai sambil terkekeh meledek Citra.

“Namanya sungguh tidak mencerminkan akhlaknya. Hhh…” gumam Cemani sembari menjauhkan diri dari perseteruan yang memanas di belakangnya.


“BINGO!!! Ahlan wa Sahlan, Hayaah!” pekik pria bernama Adlan dengan sumringah seraya bangkit dari posisi duduknya. Sontak, para lukisan lain memusatkan perhatiannya padaku. “Selamat datang ke keluarga besar, Nak. Nama kamu Hayaah. Aku, Adlan Aidan. Panggil saja ayah, agar sederhana. Hiduplah dengan sepenuhnya, ya.” ujar ayah lagi dengan lembut.

Ayah pun melengkapiku dengan pigura dan meletakkanku di kumpulan lukisan lain yang ternyata adalah saudara-saudaraku. Kami saling memperkenalkan diri satu sama lain – ya walaupun aku sudah lebih dulu tau tentang mereka dengan bermodal mencuri dengar pembicaraan hehehe.


“Waw, kau indah sekali, Hayaah. Adik bungsu kita ini bukan main” puji Damai yang tidak henti melihatku dari atas hingga bawah. 

“Biarkan Hayaah beristirahat, Damai. Kita hanya punya waktu satu minggu sebelum pameran. Kita harus memastikan adik kita memiliki energi yang cukup” sambung Harmoni dengan tutur kata yang ramah.

“Pa.. pameran? Apa itu?” tanyaku bingung.

Cemani pun angkat bicara dan mencoba menjelaskan, “Pameran itu adalah pertunjukan karya seni. Kita akan segera menghadiri pameran lukisan sebagai salah satu rangkaian acara Amal yang diselenggarakan oleh ayah dan tim pelukis lainnya.”

“Acara Amal?” tanyaku lagi takjub.

“Acara amal adalah acara yang diselenggarakan untuk melakukan penghimpunan dana yang dialokasikan untuk keperluan sosial. Konon, acara amal berupa pameran lukisan ini diadakan 2 tahun sekali. Para pejabat penting rutin memeriahkan acara ini. Mereka akan melelang kita dengan harga terbaik dan merawat kita dengan kasih sayang kelak hehehe” ujar Citra tak kalah semangat.

“Yang paling penting adalah, dana hasil lelang lukisan ini akan disalurkan untuk yayasan peduli Kanker serta lembaga peduli disabilitas. Kita akan berkontribusi dalam membantu  para manusia yang membutuhkan, Hayaah.” ujar  Harmoni.

Aku bersemangat mendengar bahwa aku bisa memberi manfaat untuk orang lain. Namun, seketika, aku termangu “Tapi.. apa ada yang mau membeliku? Apa aku cukup indah? Seperti kalian?” tanyaku lirih.

Citra sempat terbengong beberapa saat sebelum ia menyeretku terburu-buru menuju ke depan cermin berpigura emas di tengah ruangan. “Lihatlah sendiri bagaimana bentukmu” ujar Citra tidak sabar.

Aku terbelalak melihat wujud diriku di depan cermin. Figur tubuhku sama besar dengan saudaraku yang lain, pigura putih susu dengan ukiran sulur yang detail dan cermat menambah kesan elegan dan antik. 

“Bagaimana? Indah kan?” tanya Cemani sambil tertawa kecil. 

Sudah beberapa menit aku terpaku di hadapan cermin dan mengamati saksama lukisan pada badanku. Kanvasku yang luas telah terisi penuh oleh empat panel dengan gambar setiap musim yang selama ini sesekali kudengar dari celetukan Ayah.

“Hey! Bagaimana, Hayaah? Kamu Indah, kan? Apa sekarang sudah jatuh cinta pada dirimu sendiri?” gurau Damai.

Aku pun terkaget dan merespon dengan mengangguk cepat riang gembira. Reaksiku pun disambut dengan tawa hangat yang riuh di antara kami.

Ah, tidak sabar menanti acara amal, wajah penuh senyuman dan tangan hangat yang akan menyambutku. Uh, segeralah tiba!

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Hari pameran lukisan yang kami tunggu telah tiba. Aula tinggi berhiaskan ukiran emas pada langit-langit dan pilar bangunan serta berlantai marmer ini tampak penuh dengan sekelompok orang-orang berpakaian necis. Aku mendengar alunan musik yang asing bagiku namun sangat menyenangkan, nada nya lebih ceria dari musik ayah di ruang kerjanya. Saudara-saudaraku nampak santai dan berdendang kecil mengikuti lantunan lagu. Bunga hidup yang tersusun rapi di sekeliling ruangan mengeluarkan aroma wangi yang manis, lembut dan menenangkan. Kami diletakkan di dinding tengah, mudah disoroti oleh tamu-tamu yang datang. Sebagai pelengkap, ayah memberi tambahan label pada tubuhku dan saudara-saudara yang lain. “Ini adalah penjelasan mengenai gambar kalian. Semoga mereka mengerti keindahan kalian, sama sepertiku” ujar ayah pada dirinya sendiri sembari menekankan label dengan hati-hati. Aku melirik label dan mendapati tulisan ‘Hayaah’ tertera di sana, lalu tersenyum. Semua orang terlihat sibuk. Aku semakin berdebar-debar!

“Hayaah, apa kamu lihat di beberapa sudut ruangan itu? Mereka juga lukisan yang sama seperti kita. Mereka adalah karya dari teman-teman pelukis ayah. Ku dengar, acara ini memang selalu ramai pengunjung.”  jelas Harmoni.

“Tentu saja. Acara seperti ini hanya diadakan 2 tahun sekali. Bisa dibilang kita ditunggu-tunggu, loh. Selebriti di kalangan manusia!” celetuk Damai bersemangat.

“Oh, acara ini akan berlangsung selama tiga hari. Dan pelelangan akan diadakan di hari terakhir nanti. Sekarang, kita cukup menikmati acara saja” ucap Citra menambahkan.

Aku mengangguk pelan  “Mmm.. apakah itu berarti setelah acara ini selesai, kita akan berpisah?”

Seluruh saudaraku terdiam menatapku, kemudian Harmoni tersenyum lembut “Dimanapun kita berada, kita tetap akan menjadi anak Adlan Aidan, anak ayah.”

Damai mendekatiku “Hiduplah dengan sepenuhnya, Hayaah, seperti kata ayah.”

“Bukan sebuah fenomena yang kerap terjadi mendengar Damai berkomentar normal, namun ya *ehem* patut kita syukuri.” sela Citra sambil mengangguk-angguk.

“Oh, apakah ada yang menginginkan tubuhnya berpisah dan terkoyak ke  arah barat dan timur hari ini?” balas Damai jengkel yang kemudian segera ditengahi Harmoni.

Aku pun tertawa bersama Cemani. Sangat menyenangkan bersama mereka, namun hidupku harus terus melangkah maju. Ya, aku akan hidup dengan sepenuhnya.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

“Kali ini, saya akan menjelaskan karya saya yang terakhir. Karya yang sangat bermakna bagi saya.” ucap ayah saat memulai perkenalannya mengenaiku di depan para peserta lelang.

“Saya memberi nama karya ini Hayaah, yang berarti kehidupan. Perjalanan saya beberapa tahun terakhir di negeri empat musim memberi kesan mendalam sendiri mengenai kehidupan, mengenai semesta ini.” 

Ayah berhenti sejenak sebelum melanjutkan “Kompleksitas kehidupan tidak akan pernah bisa dijelaskan di atas satu lembar kanvas, namun saya berusaha menunjukkan bagaimana kehidupan ini bekerja. Kehidupan pun memiliki musimnya. Dan manusia, atas segala yang dikaruniakan kepada kita, mampu menghadapi segala musim. Namun, pada akhirnya tetap akan ada suatu titik henti pada suatu musim. Daun yang gugur dan mati atau ranting yang membeku. Oleh karena itu,  hingga suatu titik kelak kita harus berhenti, mari kita semua hidup dengan baik dan sepenuhnya, sesuai dengan yang diinginkan oleh Maha Pencipta kita. Inilah, Hayaah.” 

Seiring ayah mengakhiri presentasinya mengenaiku, para pengunjung menyambut dengan tepuk tangan meriah. Satu hal yang baru kuketahui belakangan adalah bahwa ayah adalah seniman yang cukup ternama. Jujur, fakta ini membuatku semakin gugup.

“Setelah ini, pelelangan akan berlangsung melalui suatu aplikasi di gawai para peserta masing-masing.” jelas Harmoni yang selalu bisa mengetahui pertanyaanku bahkan sebelum aku berkata apa-apa.

“Lucu juga membayangkan mereka menyantap hidangan serta menikmati hiburan dengan santai di kursi masing-masing lalu hanya dengan menggerakkan sedikit jari jemari, ratusan juta bisa keluar begitu saja dari mereka.” tambah Citra yang baru mendapat kisaran info harga lelang dari bapak bertubuh sintal dan berkumis tebal yang sering lalu lalang mengamati kami.

“Semuanya..” ucapku mendadak. Kemudian saudara-saudaraku menoleh dan menungguku menyelesaikan kalimatku. “… dimanapun kita berada, semoga kita berbahagia selalu, keluargaku. Keluarga Adlan Aidan.” lanjutku pelan sambil menahan isak. Mereka semua pun tersenyum lembut dengan kesedihan yang sama. Damai lantas sedikit membalikkan badan dari kami.

“Hei, kau tidak menangis kan? Sama sekali tidak cocok dengan kepribadianmu.” gurau Citra melihat Damai yang diam-diam sesenggukan. Dan seperti biasa, kekhidmatan kita selalu diakhiri dengan tawa melihat Citra dan Damai yang saling menggoda satu sama lain.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

“Harus saya letakkan dimana lukisan ini, Tuan?” seru nona muda berseragam biru putih dengan sedikit aksen renda pada tepi lengan bajunya sembari membawaku dengan hati-hati.

Pria berwajah kotak dengan rahang lebar itu menatap kami sekilas sambil mengernyitkan alisnya berusaha mengingat sesuatu. “Ah… Lukisan yang kuperoleh dari lelang hari ini ya. Letakkan dimana saja yang masih kosong” jawabnya lagi seadanya dan segera masuk menuju rumah putihnya yang tidak kalah besarnya dari tempat pameran.

“Wah pelelangmu adalah pengusaha terkemuka di bidang otomotif, Hayyah. Ia adalah tuan Thomas Reynhard. Wah, beliau sepertinya cukup makmur. Beruntungnya kau~ ” ucapan Damai kembali terngiang di telingaku. 

Baru beberapa langkah aku masuk, sudah terlihat koleksi miniatur kendaraan dari berbagai era yang menghiasi pojok ruangan di dalam etalase kaca yang besar dan mengilap. Dinding ruangan pun penuh dengan pajangan yang berkaitan dengan dunia otomotif, bahkan ada pojok khusus untuk koleksi roda ban dengan berbagai spesifikasi dan zaman. Aku mengerjap beberapa kali sambil berpikir apakah aku dibawa ke rumahnya atau ke museum.

“Oh, Isabelle. Apa yang kamu bawa itu? Koleksi baru?” tanya pria muda berambut ikal dengan figur wajah yang serupa dengan tuan Thomas. “Sepertinya anaknya”, pikirku.  

“Ah, ini adalah lukisan yang Tuan Thomas beli saat di pameran acara amal hari ini, tuan muda Ben”. 

“Hah? Lukisan?” ucap pria yang bernama Ben itu ragu dan tidak puas dengan apa yang ia dengar. Air wajah penasarannya sontak sirna dan berganti dengan wajah tidak peduli. “Aku tidak ingat kalau ayah punya ketertarikan pada lukisan” balasnya lagi pada dirinya sendiri.

“Ayah tidak tertarik pada lukisan. Ayah hanya tertarik dalam memberikan impresi yang baik di lelang tadi. Ah, itu lukisan Adlan Aidan. Kau pernah dengar namanya, kan?” jawab tuan Thomas yang mendadak datang bergabung ketika melihat kehadiran anaknya. Jawabannya itu pun diikuti anggukan paham oleh tuan muda Ben seakan baru mendapatkan jawaban dari sebuah misteri yang panjang.

“Hmm masuk akal. Ya, aku pernah dengar. Namanya selalu dielu-elukan oleh penikmat seni.” balas tuan muda Ben yang kemudian memindai tubuhku dari atas hingga bawah.”Ini buatan Adlan Aidan? Hmm.. Waw” gumamnya sembarang.

“Bagaimana menurutmu? Bagus, kah? Semua orang di pameran menginginkan lukisan itu. Makna dan cerita dari lukisan itu dalam. Kata mereka.” tanya Tuan Thomas sambil mengutak-atik beberapa set miniatur rel kereta api yang ia baru beli di perjalanan pulang ke rumah.

 “Menurutku? Hmm… Waw..” ia terdiam sejenak sebelum menyambung kalimatnya “Biasa banget, tuh” jawabnya lagi sambil terkekeh-kekeh.  Tuan Thomas pun turut tertawa dan membenarkan perkataan tuan muda Ben. Aku hanya terbengong mendengar pernyataan mereka.

“Ah aku tidak akan pernah mengerti soal seni seumur hidupku” jawab tuan Thomas dan terus melanjutkan memeriksa secara saksama detail koleksi yang ada di seluruh ruangan. 

“Maaf, tuan muda Ben. Lalu bagaimana dengan lukisan ini? Sebaiknya dimana saya letakkan? Apakah saya pajang di ruang utama ini?” tanya nona muda itu lagi yang sepertinya bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah ini.

“Apa kau bercanda? Kita sebentar lagi akan kedatangan banyak miniatur otomotif antik yang perlu menjadi bintang utama di ruangan ini. Tidak ada ruang untuk lukisan pepohonan itu. Letakkan saja dimana pun yang kosong, tapi tidak di sini.” Jawab tuan muda Ben sekenanya dan segera sibuk mengurusi telepon yang masuk dari rekan kerjanya.

Nona muda berambut hitam kecoklatan ini pun terdiam sambil memutar otak untuk memutuskan ruangan mana yang akan kutinggali. Ia menatapku beberapa lama sambil bergumam lirih “Sayang sekali, padahal lukisan ini indah”. Namun, aku tidak terlalu memasukkan perkataan nona muda ini ke dalam hatiku. Aku sibuk mengulang-ulang adegan tuan Thomas dan tuan muda Ben yang tidak mempedulikanku sama sekali. Aku yang semula percaya bahwa aku bisa membawa kebahagiaan pada keluarga baruku melalui lukisan di tubuhku pun… meragu. 

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Sayup-sayup terdengar suara ramai dari tamu tuan Thomas yang kerap berkunjung ke rumah seminggu sekali dalam rangka pertemuan komunitas penggiat otomotif. Kira-kira sudah lima bulan aku diletakkan di ruangan persegi 3,5 x 3,5 meter yang posisinya ada di bagian belakang rumah. Aku menetap bersama beberapa keluarga baru yaitu Helm corak hijau tentara bernama Army, satu set sarung tangan motor eksklusif dengan tiga variasi warna bernama Orlando serta beberapa tumpukan dus yang belum sempat dibuka.

“Ah, sampai kapan aku teronggok di sini. Aku juga ingin menyapa para tamu itu dengan pesona hijau ku yang otentik” gerutu Army. Aku sedikit tidak fokus mendengarnya karena beberapa sisi tubuhku gatal lantaran mulai dipenuhi debu. Orlando pun menyambung,

“Tenang, Army. Jika semua helm tuan Thomas mendadak serentak rusak, tentu ia akan mengingatmu. Hm.. mungkin 50 tahun lagi? Semangatlah. Itu tidak lama.” jawab Orlando meremehkan.

“Kita semua ini adalah keluarga. Jangan seperti itu, Orlando” ucapku mencoba membela Army. 

“Pfff… Keluarga?! Aku?! Dengan lukisan dedaunan sepertimu??? Yang dari jauh warnanya cenderung hijau keputihan?? Eh, tunggu, bahkan piguramu sudah tidak benar-benar putih lagi.” protes Army kepadaku. Aku pun melotot. “Wah ucapan terima kasih yang sangat menyentuh hati” pikirku.

Orlando tertawa terbahak-bahak “Hey, Hayyah. Aku tidak pernah meledekmu selama enam bulan ini. Tentu bukan karena aku menyukaimu. Apakah kau tau kenapa?”

Aku menggelengkan kepala, “Kenapa?”

“Karena aku bahkan tidak pernah memperhitungkanmu. Kau se-tidak penting itu bagiku. Kau tidak indah sama sekali. Kau sangat berbeda dari kami. Karena itu, aku bahkan tidak terpikir untuk melirik padamu dan meledekimu”.  Orlando dan Army tertawa puas sekali.

Bagaimana reaksiku? Aku hanya terdiam. Dan tidak berbuat apa-apa. Toh, aku bukan siapa-siapa.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Army dan Orlando tengah asyik menggoda satu sama lain saat tuan muda Ben menyeruak masuk ke dalam ruangan. Kami semua terkesiap dengan kedatangan tuan muda. Aku bisa melihat jelas wajah penuh antusias dari Army dan Orlando. Mereka pun belomba-lomba mencuri perhatian tuan muda Ben - yang menurutku sejauh ini masih gagal. Tuan muda Ben nampak sibuk mengukur ruangan dan memetakan sesuatu. “Hmmm…” gumamnya sambil terus berpikir.

“Bagaimana? Masih ada ruangan untuk menumpuk barang baru dari Jerman yang akan datang lusa?” tanya tuan Thomas yang turut  memeriksa ruangan itu.

“Sebenarnya masih sih. Namun, ayah, benda itu, apakah kita tidak bisa melakukan sesuatu untuk melenyapkannya? Dia terlihat sangat… tersesat berada di rumah ini. Ku rasa?” ucap tuan muda Ben sambil menunjuk ke arahku.

“Benda yang kamu tunjuk itu harganya mahal sekali, lho” balas tuan Thomas seadanya sambil menimbang keputusan.

“Tentu saja, Ayah. Pencitraan dan impresi baik di mata pejabat tinggi dan orang-orang penting yang hadir di pelelangan itu pasti harganya mahal.” jawab tuan muda Ben lagi sambil menyeringai. 

Tuan Thomas terdiam sejenak lalu kembali angkat suara “Coba kamu hubungi beberapa galeri seni di kota sebelah. Kabarkan pada mereka bahwa kita memiliki karya asli Adlan Aidan. Cek berapa harga terbaik yang mereka bisa tawarkan. Kamu urusi itu semua, oke?”. Tuan muda Ben pun menyanggupi dengan riang dan segera melaksanakan perintah ayahnya. Ia terlihat sungguh sibuk menelepon berbagai kontak yang ia punya. Aku hanya bisa menatap nanar dari kejauhan - menatap punggung mereka yang semakin menjauh dari ruangan.

Saat aku kembali pada kejernihan pikirku, akhirnya aku menyadari bahwa Army dan Orlando sedang sangat menikmati kabar sedih ini. “Ada yang akan segera dideportasi! Hahahahaha” celoteh mereka berdua sambil tergelak.    

“Diam kalian!” bentak ku untuk pertama kalinya. Tawa mereka justru semakin kencang. Aku menguatkan diri dan berdoa dalam hati agar keluarga baruku – tuan Thomas – berubah pikiran dan bisa menyayangiku sama seperti koleksinya yang lain. Berdoa sekuat mungkin agar aku bisa hidup sepenuhnya.

Beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki menuju ruangan kami lagi. Saat pintu terbuka, tuan Thomas dan tuan muda Ben telah berada di baliknya. Tangan tuan muda Ben penuh dengan berbagai barang dan di luar pintu telah nampak tumpukan dus berbagai ukuran yang siap dimasukkan ke dalam ruangan.

“Galeri mana yang akan memberi harga tinggi tadi, Ben?” tanya tuan Thomas sambil memperhatikan tubuhku dan menyapu sedikit debu di ujung pigura ku lalu spontan dahinya mengernyit. “Oh Galeri Scultura O Angelo” jawab tuan muda Ben. “Hm? Bukankah galeri itu umumnya memajang seni pahat saja?” tanya tuan Thomas lagi sambil menepuk-nepuk tangannya untuk menghempas debu. “Mereka bilang kasus kali ini pengecualian karena karya yang kita miliki adalah karya Adlan Aidan” balas tuan muda Ben sebelum ia balik bertanya “Namun aku baru mendengar dari tim galeri Scultura, bahwa karya Adlan Aidan sangatlah langka. Beliau hanya melelang karyanya melalui acara amal yang ayah ikuti untuk pertama kalinya itu. Apa benar tidak apa-apa kita menjual kembali karyanya begitu saja? Kudengar lagi, tim pameran nya cukup ketat mengenai peraturan lelang.”

“Peraturan? Ah.. Mengenai etika merawat karya yang telah dibeli dengan baik dan penuh kasih sayang? Pfff… Tenang saja. Toh aku membayar mahal. Aku akan melakukan sesukaku.”

“Bagaimana ayah bisa menjadi peserta lelang untuk tahun ini? Bukankah salah satu syaratnya adalah penikmat seni? Konon kabarnya bahkan ada tes untuk menjadi peserta lelang, bukan? Bagaimana bisa ayah lolos? Dan terlebih, untuk apa ayah ikut acara itu? Ayah bahkan tidak tahu apa itu lukisan Monalisa.” tanya tuan muda Ben lagi penasaran. Tuan Thomas hanya tertawa mendengar pertanyaan jujur dari anaknya itu. “Aku menggunakan segala cara agar bisa masuk ke sana. Salah satu pejabat penting yang menjadi kunci utama dalam tender proyek masif otomotif di kota-kota besar turut hadir di sana. Begitu pun tokoh-tokoh masyhur lainnya. Aku harus memperluas koneksiku.”

Tuan muda Ben hanya menggeleng “Hidup sungguh keras” yang kemudian diikuti tawa dari kedua orang tersebut. Seketika, ruangan yang biasanya sepi ini dipenuhi tawa riang gembira. 

Ya, tawa dari mereka yang menginginkan kepergianku.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Pegawai pria berdasi kupu-kupu dari galeri Scultura O Angelo pun keluar dan menyambut kedatanganku. Beberapa pegawai lainnya turut menghampiri dan membawaku masuk ke dalam galeri. Pria berpakaian necis sibuk melayani tuan muda Ben dengan ramah dan mereka berjalan menjauh dariku menuju kafetaria VIP galeri yang nampak nyaman.

Aku melihat ke sekeliling dengan lemah “Halo, rumah baru. Sudah hampir enam bulan pasca aku keluar dari kediaman ayah, dan kini aku di sini. Tidak buruk juga” ujarku menghibur diri. 

Kali ini, aku memang tidak diletakkan di belakang atau tempat terpencil lainnya. Namun karena karya seni utama di galeri ini adalah patung dan pahatan, aku hanya bisa diletakkan di tepi aula dekat tangga. Tidak terlalu jauh dari pusat, namun juga tidak terlalu menyolok karena terdapat pilar tinggi yang sedikit menghalangi orang-orang untuk melihatku dari jauh. 

Resmi setelah aku melihat tuan muda Ben berpisah dengan pegawai galeri dan melangkah menuju kendaraannya, aku terbangun kembali pada kenyataan dan mengikhlaskan semuanya. 

“Mari kita mulai awal yang baru.” ucapku membatin.

Tepat saat aku ingin mengambil kembali puing-puing harapan bahwa suatu saat akan ada yang mau menjadi keluargaku yang utuh, seorang wanita dan laki-laki yang kuasumsikan adalah siswa peserta studi tur – melihat dari seragam yang mereka kenakan – melirik ke arahku “Ih, kok ada seni lukisan pepohonan di sini. Ini kan galeri seni pahat. Aneh banget hahaha” celetuk mereka lalu segera beranjak menikmati karya seni yang lain.

Aku menunduk malu “Berani-beraninya aku berharap”.

Seharian terasa sungguh berat dengan tatapan aneh pengunjung yang kebetulan melihatku. Ditambah lagi, karya seni lain di ruangan ini turut mencemooh aku yang berbeda dari mereka. Aku tidak mengerti, mengapa mereka tidak bisa setidaknya membiarkan aku sendiri.

Aku tidak indah. Lalu apa? Apalagi?

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

Seminggu sudah berlalu dan bukannya semakin tegar, aku justru semakin rapuh. Namun tidak mengapa. Aku pasti akan terbiasa. Suatu saat. Pasti.

Beberapa saat kemudian, aku gugup melihat sosok anak laki-laki kecil yang menatapku lekat-lekat. Ah, tenang, aku tidak berharap apa-apa kok. Aku hanya tidak enak jika anak kecil yang manis ini harus melihat diriku yang buruk rupa.

Setelah beberapa lama ia menatapku, ia pun beranjak pergi tanpa berkata apa-apa. Aku pun menarik nafas lega. “Hari yang panjang” gumamku asal.

Menjelang sore, kudapati bahwa anak kecil yang sempat mengamatiku di pagi hari kembali datang. Kali ini ia menghampiriku bersama keluarganya dan pegawai berjas necis dari galeri Scultura O Angelo.

“Allahu akbar. Kau benar, Dawud. Ini adalah Hayaah.” ucap pria paruh baya berjenggot tipis dan berkacamata bulat dengan takjub.

“Wah, bagaimana bisa lukisan ini ada di sini?” tanya seorang wanita yang terlihat seumuran dengannya penasaran. Ia pun melanjutkan “Bukankah ini adalah karya yang hanya dijual eksklusif dalam pelelangan amal?”

“Betul sekali. Sebuah kehormatan bagi kami untuk bisa memiliki salah satu master piece dari Adlan Aidan. Kami bisa memperoleh koleksi berharga ini melalui koneksi kami.” jawab pegawai itu dengan lihai.

Sang pria paruh baya nampak sedikit bingung “Adlan Aidan itu siapa?” tanyanya setengah berbisik pada wanita tadi yang sepertinya adalah istrinya.

“Eh? Tuan tidak tau Adlan Aidan?” tanya sang pegawai terkejut.

Sang wanita yang berbalut gamis marun-hitam menepuk lembut suaminya “Tuan Adlan Aidan itu adalah penyelenggara utama lelang amal dua tahun sekali yang kita tonton di televisi itu. Begitu pun dengan yang melukis Hayaah. Beliau yang membuatnya”

“Oh! Ah, Tuan Adlan Aidan itu berarti pria yang memberi presentasi saat pelelangan itu ya? Oh begitu toh! Hahaha. Mohon maaf, saya tidak terlalu hafal dengan hal-hal seperti itu” jawab pria itu sambil tertawa jenaka.

Pegawai galeri yang masih bingung dan penasaran pun kembali bertanya “Bukankah Bapak tertarik membeli karya ini karena Bapak mengetahui siapa seniman di balik karya ini?”

“Tidak” jawab sang pria. “Kami berniat membelinya, karena Hayaah sangat indah” sambung anak kecil bermata bulat dan bercahaya seperti marmer yang mengilap.

Aku terkesiap. “Apa? Apa aku salah mendengar?” ucapku membatin.

“Karya ini indah sekali, komposisi warnanya, metode pewarnaannya, proporsi panelnya. Terlebih, makna di balik lukisan ini sungguh kuat. Kita terbawa suasana sekali saat tuan Adlan menjelaskannya. Kami pun memiliki pandangan yang sama saat pertama kali melihat Hayaah yang disorot kamera”

Pegawai galeri itu hanya mengangguk-angguk canggung. 

“Ah, jika Anda tidak mengerti apa yang kami bicarakan, itu wajar kok. Kita kan memiliki minat seni yang berbeda. Kami memang menyukai seni lukis, bahkan anak kami, Dawud, kini tengah menekuni aliran surealisme dan impresionisme. Dan oh sepertinya ia ingin mencoba semuanya hahaha. Namun ya, ia lebih tertarik pada pemandangan alam. Di sisi lain, Anda mungkin lebih tertarik dengan seni pahat. Kami juga tidak mengerti sama sekali dengan seni pahat dan cenderung merasa bosan akan hal itu. Hari ini pun saya ke sini hanya untuk mendukung teman yang sedang melakukan mini tur pameran karya seni pahat nya di ballroom atas. Hahaha. ” cerocos ayah dari anak kecil bernama Dawud itu dengan semangat.

“Benar. Sesuatu yang indah akan terlihat indah di mata penikmatnya” sambung sang istri sambil mengelus pelan ukiran piguraku. 

“Dan, boleh dipercepat proses administrasinya? Anakku terlihat sudah tidak sabar untuk menyambut anggota keluarga baru” ujar wanita itu lagi dengan jenis senyum yang kurindukan.

Beberapa saat aku merasa bingung dan tidak bisa menangkap dengan jernih apa yang benar-benar terjadi. Namun setelah melihat kembali dua bola mata bulat yang melihatku dengan tulus sedaritadi, aku pun spontan mengerti apa yang akan terjadi setelah ini.

“Inikah.. awal yang baru? Musim semi ku?” gumamku sambil berdebar-debar.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

“Wawww…”

“Wah ternyata lebih indah lagi daripada yang terlihat di televisi”

“Minggir, minggir.. Kau dan pigura besar mu itu menghalangiku dari melihat Hayaah. Gantian doong!”

“Hei tenang. Kalian tidak lihat Hayaah Nampak kebingungan? Sambut dengan elegan!”

“Halo cantik~ Yuk kenalan”

Dan banyak lagi komentar yang tidak sempat kudengar semua. Tepat setelah aku menginjak ke kediaman tuan Husein dan nyonya Humairoh, aku mendapat sambutan yang sangat meriah bertubi-tubi – baik dari para lukisan maupun dari anggota keluarga manusia lainnya. Aku yang sudah lama tidak terbiasa dengan perlakuan ini pun hanya bisa terbengong-bengong. 

“Dawud, jangan dipeluk saja dong Hayaah nya. Letakkan Hayaah bersama lukisan-lukisan indah lainnya di ruang tengah. Hayaah pasti senang akhirnya berkumpul dengan sesama temannya.” Ujar nyonya Humairoh. Dawud pun mengangguk setuju dan membawaku secara hati-hati. Aku takjub bagaimana tangan kecilnya dan badan mungilnya begitu sigap dalam meletakkan diriku di posisi dinding yang agak tinggi.

Setelah aku benar-benar menempati posisiku dengan sempurna, spontan para lukisan yang lain menghujaniku pujian. Mereka mengatakan betapa aku sangat indah. Betapa warnaku terlihat sungguh tulus. Aku hanya bisa termangu. “Ma.. maaf?” ucapku pelan terbata-bata.

“Ya? Ada apa, Hayyah?” jawab mereka nyaris bersamaan.

Walau ragu, namun aku memberanikan diri untuk bertanya “Apa benar aku… indah?”

Seluruh lukisan itu pun tertawa secara harmonis sekali seakan-akan sudah direncanakan. Namun tawa mereka kali ini berbeda daripada yang sering kudengar di kediaman tuan Thomas maupun galeri Scultura. Tawa yang kali ini seakan merangkulku, bukan mengusirku pergi.

“Tentu saja. Kamu sangat indah. Bagaimana mungkin kamu bisa meragukan hal itu?” tanya salah satu dari mereka.

Aku yang masih terheran-heran pun menceritakan perjalananku dan apa yang kualami semenjak keluar dari pameran lukis ayah.

Air wajah mereka sontak berubah pilu dan bahkan ada beberapa dari mereka yang menahan isak tangis – mengingatkanku pada saudaraku, Damai, yang sangat kurindukan. 

Salah satu lukisan yang terlihat senior di antara lainnya pun angkat bicara “Nak, perjalananmu yang panjang itu kini menemukan pelabuhan sempurnanya. Kesabaran dan harapanmu pun kini terlah terbayar.”

“Pelabuhan.. sempurna?” tanyaku

“Jangan dengarkan apa kata orang-orang atau barang-barang lain yang bahkan tidak mengerti mengenai nilai kita, Nak. Mereka yang tidak mengerti dan tidak berusaha untuk mengerti, tidak akan pernah bisa melihat keindahan kita, bagaimana pun kamu berusaha meyakinkan mereka. Di sini, adalah tempatmu, Hayaah.”

“Hei, kamu itu indah sekali! Ah aku rasanya ingin menghajar tuan yang bernama Thomas itu dengan pigura kayu Jati ku ini” teriak salah satu lukisan bergambar pepohonan rindang dari baris belakang yang diikuti gelak tawa lukisan lain.

Emosi yang selama ini kutahan pun meluap dan aku berterima kasih berkali-kali pada mereka.  

Hangat. Di sini hangat sekali. “Ayah, aku bertahan. Aku yakin. Ini musim semi ku.” ucapku pelan sambil tersenyum lebar menatap keluarga baruku dengan sukacita.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚πŸ‚

“Hayaah, terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Maafkan ayah, kamu harus mengalami perjalanan begitu panjang di saat kamu baru mengenal dunia.”

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, tidak percaya pada apa yang aku lihat di hadapanku.

Pria paruh baya berbaret biru aqua yang air wajahnya nampak lebih lelah dan gusar dari biasanya itu menatapku dengan kesedihan. 

“AYAH? Benar-benar ayah?!” pekikku kaget setelah selesai mencermati wajahnya.

“Saya berterima kasih banyak pada tuan Husein yang telah memberi rumah yang hangat untuk Hayaah” ucapnya kemudian sembari menghadap ke arah tuan Husein dan istrinya.

“Justru kami yang beruntung bisa menjadikan Hayaah sebagai bagian dari keluarga kami.” balas nyonya Humairoh dengan santun. “Oh, sebenarnya apa yang terjadi pada Hayaah? Bagaimana bisa Hayaah berada di Scultura O Angelo? Apakah mungkin Tuan mengetahuinya?” tanya nyonya Humairoh .

“Ah, itu. Ada salah seorang pelelang yang tidak bertanggung jawab dan tidak berkomitmen pada lukisan yang ia telah beli. Ia hanya mengikuti pelelangan dengan motif menjalin koneksi dengan peserta lain dan memperoleh status sosial yang entah apa.” terlihat jelas semburat amarah yang muncul dari air wajah ayah saat menceritakan itu. 

“Beliau mungkin tidak mengetahui bahwa manajemen kami selalu rutin melakukan kunjungan 6 bulan sekali kepada setiap pembeli lukisan di pameran amal kami. Kami akhirnya mengetahui bahwa Hayaah justru diperjual belikan pada galeri seni lain yang bahkan tidak terfokus pada bidang seni lukis. Bagi kami, setiap karya yang kami lelang itu berharga dan kami berharap para pelelang tidak memperlakukan mereka sewenang-wenang. Itu adalah komitmen awal yang harus dimiliki para peserta lelang. Nampaknya ada celah dalam sistem seleksi peserta lelang pada tahun ini sehingga... Hhh…” ayah pun menarik nafas dengan berat.

“Kami mengerti. Tidak apa-apa, tuan Adlan. Pasti hal ini sangat membuat Anda terpukul” ucap tuan Husein menenangkan.

“Sekali lagi, saya berterima kasih kepada tuan Husein, karena akhirnya Hayaah menemukan keluarga barunya yang tulus menghargainya karena dirinya.” kemudian ayah melanjutkan “Sehubungan dengan ini, kami pun ingin memberikan sertifikat kepemilikan Hayaah secara resmi atas nama tuan Husein. Kami sudah mencoret nama pemilik Hayaah yang sebelumnya dari basis data kami dan seluruh rekan kerja kami secara nasional dan global. Donasi dari lelang amal pun otomatis dibuat atas nama tuan Husein.”

Tuan Husein dan nyonya Humairoh pun mengangguk paham.

“Kami, selaku tim manajemen memang akan memeriksa setiap enam bulan sekali dengan tujuan menyambung komunikasi dengan para pelelang  dan memastikan bahwa karya kami, anak-anak kami, tidak jatuh pada pihak yang tidak peduli. Jika suatu saat pihak pembeli merasa tidak mampu merawat lukisan kami lagi karena satu dan lain hal, kita bisa membicarakannya bersama jika pihak pembeli ingin menjual kembali lukisannya pada kami.” terang ayah pada tuan Husein, setelah emosinya berangsur stabil.

“Tenang tuan. Kami akan merawat Hayaah, dan saudara-saudaranya yang lain dengan baik di sini” jawab Dawud yang mendadak bergabung ke dalam percakapan. Mata bulat Dawud memancarkan keyakinan, ketegasan dan ketulusan. Tidak pernah berubah sejak hari pertamu aku melihatnya.

Ayah tersenyum manis dan menyiratkan kelegaan. Ia pun menoleh sebentar ke arahku “Kehidupan yang menarik, bukan? Kini adalah musimmu, Hayaah. Ingat, hiduplah dengan sepenuhnya” ucap ayah untuk terakhir kalinya sebelum ia pamit kepada tuan Husein dan nyonya Humairoh.


“Terima kasih, ayah” balasku, tersenyum.