Halaman

Minggu, 30 Agustus 2020

Pertanyaan

 

Ilustrasi : Mima Uasha | Referensi Ilustrasi : 케일리[KAYLEE ARTravel]
Cerita : Dewi Emillia


“SUDAH SAMPAAAI! Akhirnya!~” pekik Sandra – wanita berambut bob coklat kemerahan – bersemangat saat melihat papan kayu bertuliskan ‘Taman Az Zahra’.

Please, ngga usah mendadak teriak kalau ngga mau gue tabrakin ini mobil ke papan kayu itu” protes Laras, gadis Jawa – yang telah meresapi gaya anak perkotaan terlalu dalam – berambut hitam lurus sepinggang dengan tahilalat manis yang menghiasi sudut bibirnya.

“Coba mana coba? Tabrakin cobaaa” tantang Sandra sambil terkekeh-kekeh yang disusul oleh pelototan murka Laras.

Sinta menghela nafas mendalam, “Din, coba bacain surat apa gitu biar mereka akur. Ayat kursi kek, apa kek.” ujar Sinta sambil membenarkan jaket jeans nya yang melorot.

Diniyah menggelengkan kepalanya berat, “Sudah tidak ada harapan untuk mereka”. Tawa Sandra semakin kencang.

“Laras, orang waras mengalah” ucap Tasya – wanita bertubuh semampai yang mengenakan baju terusan pink, hijab motif bunga berwarna coklat susu.

“Kalau orang waras mengalah terus kerjaannya, nanti yang ambil alih posisi penting di segala lini jadi orang kayak gini semua” balas Laras sambil memberi isyarat kode gerakan jari telunjuk miring di depan dahi nya, usai ia mematikan mesin mobil. Empat orang lainnya pun tertawa kencang melihat ekspresi Laras.

“San, kita bisa langsung ke villa nya dulu, kan?” tanya Tasya sembari mengeluarkan tas-tas dari mobil dan mendistribusikannya satu persatu ke pemiliknya.

“Yep! Tinggal taro barang di kamar terus kita jalan-jalan deh~” balas Sandra sambil merangkul Laras, memastikan kalau mereka telah berdamai.

“Udah mau dzuhur, nanti shalat dulu lho ya” ujar Diniyah setelah mengecek jam di arloji bertali kulitnya.

“Iya mamah Dini” jawab Sandra, Laras dan Tasya serempak.

“Aku engga lho, ya” balas Sinta jenaka, yang kemudian ditimpali oleh Diniyah “Kalau mau coba dulu juga boleh. Siapatau tertarik untuk melanjutkan kelak”. Mereka pun tertawa sembari menyusuri koridor dengan pilar putih kokoh yang dikelilingi salur dedaunan menuju kawasan villa.

🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂

Sandra masih sibuk mencari posisi dan sudut yang tepat untuk mengambil potret pondok kayu yang akan mereka tempati sebelum ia diseret paksa oleh Sinta menuju destinasi berikutnya.

“Kenapa deh kok buru-buru?” protes Sandra sambil menepuk kotoran pada kulot berwarna pastelnya.

“Nyonya lapar berat” jawab Sinta sambil menunjuk ke arah Tasya.

“Astaga! Situasi genting berarti! Kenapa kita jalan?! Ayo lari! Kalau perlu naik jet kita ke resto! Go go go go!” balas Sandra berpura-pura histeris dan mulai berlari-lari kecil.

“Sya, kalau butuh preman bayaran buat gebukin Sandra, kabari gue aja. Biar gue yang melakukan pekerjaan kotor itu.” sahut Laras yang disambut oleh tawa renyah Tasya.

“Kenapa sih harus pakai kekerasan, mbak Laras? Why?” tanya Sandra sok memelas.

Seketika, Diniyah memegang kepala Sandra dan melantunkan ayat kursi.

“HEH! DIKIRA GUE SETAN?!” ujar Sandra kaget. Laras tertawa dan tepuk tangan dengan sangat bahagia.

“Wah itu tuh, Resto floral nya” ucap Sinta menyadarkan kelompoknya akan tujuan utama mereka.

“Masya Allah. Suka deh interior kayu di segala furniturnya. Lampion kayunya cantik” balas Diniyah terkagum-kagum saat memasuki resto Floral.

“Komplek wisata Taman Az-Zahra ini paket komplit banget sih emang, ya. Penginapan ada, kebun bunga ada, tempat outbound ada, kolam renang indoor ada, mini market ada, resto pun ada. Bahkan resto Floral ini menawarkan beragam masakan dari berbagai tempat. Japanese, Chinese, Western, Indonesia. Wah..” puji Tasya sembari membuka-buka katalog menu makanan dengan semangat.

Sandra baru membuka mulut untuk berbicara sebelum disela oleh Laras “Jangan tanya apakah di sini ada jodoh atau tidak. Klise. Cari lelucon yang lain.”

Sinta terkekeh melihat muka cemberut Sandra yang gagal melucu.

Setelah memesan makanan di lantai dasar dan diantar menuju meja pilihan mereka, lima sekawan itu hanya diam, khidmat menatap pemandangan dari lantai paling atas resto Floral yang menghadap langsung ke pegunungan. Mereka ditemani oleh angin semilir yang sejuk dan kicau burung yang berbaur dengan lantunan musik dari resto.

“Makan di teras atas sini emang lebih asik ya daripada di dalam ruangan ber-AC” ucap Laras memecah keheningan. Tak lama kemudian, pramusaji pun datang dan menyuguhkan hidangan makanan yang telah dipesan.

Sinta tertawa kecil “Mata Tasya bersinar paling cerah saat lihat makanan, ya”. Tasya pun hanya tersenyum lebar hingga menampakkan giginya.

“Eh, parade bunga nya dimulai jam berapa sih?” tanya Sinta. Sandra – sang inisiator liburan kali ini – pun menimpali setelah melirik contekan jadwal di telepon genggam nya “Kisaran jam 5 sore dimulai. Kita tetep harus stand by sih karena pengunjungnya pasti ramai. Wajarlah ya, soalnya acara sekali setahun.”

“Nanti kita mau ke kebun bunga setelah makan?” tanya Laras.

“Nanti aja deh. Kita perginya abis ashar aja. Kalau dari sekarang jalan-jalan di kebun bunganya, nanti energi keburu abis duluan. Kita kan mau ngikut parade sampai larut, toh. Kebun bunga nya pas malam pasti bagus. Nanti ada lampu cantiknya gitu”. sahut Sandra.

“Kita mau ngapain dong sambil nunggu parade?” tanya Laras lagi.

“San, kasih ide dong. Ide lo biasanya cemerlang” celetuk Sandra ke Sinta. Sinta pun mengernyitkan alis dan pasang pose berpikir. “Ah!” seru Sinta tiba-tiba.

“Main permainan kita yang biasa aja. Main ‘Teka-teki mamah Dini’ ” jawab Sinta girang. Diniyah pun menghela nafas “Aku lagi yang jadi tumbalnya.”

“Hahaha. Boleh deh. Walau gue ngga ngerti kenapa kita ngga bosen-bosen main kuis ini. Padahal pertanyaan juga acak, jawabannya apa lagi.” sahut Sandra menyetujui.

“Ya karena ngga jelas itu makanya kita suka” sambung Tasya setelah asik menyeruput kuah soto mie.

“Heran, ya. Orang waras terus-terusan mengalah. Hal yang ngga jelas, malah disukai. Apa yang salah sih pada kehidupan ini?” sahut Laras sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Sssttt.. yang boleh melempar pertanyaan di sini cuma Diniyah” protes Sandra.

“Sesi kuis-kuisannya setelah kita semua selesai makan ya, anak-anak. Mamah mau cari ilham dulu” balas Diniyah pasrah mengikuti permintaan sahabat-sahabatnya itu.

“Oke, mamah Dini” jawab Sandra, Laras, Sinta dan Tasya serempak yang kemudian disusul oleh khidmatnya mereka menyantap hidangan di hadapan mereka. Sesekali mereka saling mengobrol kecil dan tertawa atau saling menangkap citra satu sama lain dengan pose andalan masing-masing.

Setelah menuntaskan makanan dengan lahap, air wajah lima sekawan – kecuali Diniyah – terlihat berbinar menanti pertanyaan yang akan diajukan Diniyah.

Diniyah menahan senyum melihat ekspresi sahabatnya yang seperti anak kecil menunggu didongengkan ibunya sebelum tidur. Diniyah pun berdeham dan merapikan letak kerudungnya agar simetris “Oke. Kita akan mulai ‘Teka-teki mamah Dini’. Sekarang.. juga!” ucap Diniyah sambil mengetuk sendok ke piring agak kencang sebanyak tiga kali dengan serius.

Melihat wajah para ‘anak kecil’ yang fokus, Diniyah pun melanjutkan pertanyaannya “Apa fungsi dari bunga?”

“Eheeeeyyy!” pekik Sandra, Laras, Sinta dan Tasya dengan nada protes secara kompak.

“Sejak kapan ‘Teka-teki Mamah Dini’ berubah jadi olimpiade Biologi?” tanya Sinta heran.

Diniyah pun tertawa kecil mendengarnya. “Kalian lupa aturan ‘Teka-teki Mamah Dini’? Jawablah dengan sesuka hati. Simpulannya nanti kan urusanku”.

“Fungsi tuh gimana deh? Ya buat keseimbangan alam, lah” jawab Laras.

“Yaudah, kuganti pertanyaannya supaya tidak mengingatkan kalian pada Biologi. Dalam kehidupan sehari-hari kita, bunga bisa digunakan sebagai lambang apa? Apa yang biasanya orang-orang lakukan menggunakan bunga?” sahut Diniyah mengalah.

“Lambang cinta, dong!” sahut Sandra dengan menggebu-gebu. Ia pun spontan bertekuk lutut di hadapan Laras sambil seakan-akan menyodorkan bunga dan berkata dengan lembut “Will you marry, me, Prince Harry?

Laras menatap Sandra dengan manis “How much do you love me, Young Lady?

I will die for you, prince! I will give you my all!” balas Sandra meneruskan sandiwara dadakan.

Then, please die” jawab Laras sambil menyodorkan pisau steak nya ke depan muka Sandra.

“Astaghfirullah… Pisau lho itu, Ras” sahut Sandra yang terduduk lemas di lantai karena kaget.

“Hahaha elah, srimulat” celetuk Sinta.

Tasya menggeleng-gelengkan kepala ke arah Diniyah “Pertanyaan Mamah Dini hampir saja menumpahkan darah”.

“Bukan pertanyaanku yang salah, anak muda. Jiwa-jiwa mereka yang tersesat lah yang menggiring mereka pada malapetaka” jawab Diniyah membela diri.

“HAHAHAHAHA” tawa Sinta pun meledak sekali lagi.

“Lambang simpati” jawab Laras tanpa memedulikan sandiwara yang telah berlalu. “Kenapa, tuh?” tanya Diniyah.

“Hmm.. karena orang-orang terkadang memberikan buket bunga untuk orang yang baru sembuh dari sakit. Atau kadang memberi karangan bunga juga untuk keluarga dari seseorang yang meninggal dunia.” jelas Laras.

“Wah, jawaban yang bagus” ucap Sinta sambil bertepuk tangan kecil. Diniyah pun mengangguk-angguk.

“Aku mau coba jawab! Lambang penghormatan! Karena bunga-bunga indah biasa ditabur untuk mengenang jasa para pahlawan” jawab Sinta yang mendadak diikuti dengan senandung mengheningkan cipta oleh Sandra dan Laras. Diniyah terkekeh-kekeh melihat dua temannya yang selalu kompak di saat yang tepat. Diniyah mulai berpikir bahwa Sandra dan Laras harus benar-benar mengikuti audisi Srimulat.

“Tasya belum nih. Keliatan berpikir keras banget. Ngga lagi mikirin mau pesan tambahan makanan apa, kan, Sya?” ledek Sandra.

“Bunga itu….. lambang pengkhianatan?” jawab Tasya dengan agak ragu setelah berpikir beberapa saat.

Spontan, Sandra, Laras dan Sinta  langsung menatap Tasya lekat-lekat dengan rasa penasaran di wajah mereka. Diniyah pun tersenyum tipis, “Lanjut, Sya penjelasannya”.

“Berdasarkan pengamatan pada drama-drama di televisi, dan sepertinya juga sering terjadi di kehidupan nyata, banyak orang yang setelah berselingkuh, pulang kembali pada pasangannya dengan segudang hadiah, termasuk buket bunga yang sangat mewah dan cantik.” jawab Tasya lagi.

Tasya pun melirik sahabat-sahabatnya dan mendapati ekspresi mereka yang termangu beberapa lama.

“Bener juga ya..”celetuk Laras sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Oh my god. Otak gue yang polos dan suci ini mendadak sakit membayangkannya” sahut Sandra.

Diniyah justru nampak puas dengan jawaban yang ia dengar dari Tasya.

“Wah, mamah Dini tersenyum! Berarti jawaban Tasya adalah jawaban yang ia nanti-nanti!” seru Sinta sambil menunjuk ke arah Diniyah.

Diniyah pun tertawa “Hahaha. Apa sih? Jawabannya kan boleh bebas. Santai aja, dong”.

“Oh! Kalau gitu bunga juga bisa jadi lambang teror” sambung Laras.

“Waduh, kenapa lagi, nih?” tanya Sandra kesal mendengar lambang cintanya terus dipojokkan.

“Karena bom suka diselipkan di dalam tanaman atau karangan bunga, supaya ngga ketahuan”, jawab Laras.

“Astaghfirullah..” sahut Tasya.

“Bunga tidak akan pernah terlihat sama lagi setelah ini” gumam Sinta sambil menyeruput jus mangganya yang tersisa sedikit.

Diniyah pun tidak bisa menahan tawanya dan sibuk tertawa sambil menutupi mulutnya.

“Setelah ini apa nih, Mah? Masuk ke simpulan atau pertanyaan tambahan?” desak Sandra.

Diniyah pun menenangkan diri dan kembali ke mode serius “Kita masuk ke pertanyaan tambahan dulu, ya. Pertanyaan terakhir.”

Empat orang yang lain pun mengangguk dan kembali menyimak apa yang akan Diniyah sampaikan.

“Setelah tadi sahabat sekalian menjabarkan lambang dari bunga, bulatkan satu suara dan jawab : bunga itu sebenarnya baik atau jahat?” tanya Diniyah.

“Eheeeeyyy!” pekik Sandra, Laras, Sinta dan Tasya dengan nada protes untuk kedua kalinya. Diniyah pun kembali tertawa.

“Saat awal kuis, gue udah siap dengan pertanyaan aneh, tapi malah dikasih kuis biologi. Saat pertanyaan terakhir, gue udah menyiapkan mental dengan pertanyaan sains, malah dikasih pertanyaan yang ngajak berantem”, protes Sandra yang membuat tawa Diniyah semakin kencang.

“Tenang, kawan-kawan. Mari kita lalui semua kuis ini dengan lapang dada. Saatnya kita musyawarah untuk mencapai mufakat” ucap Tasya memberi komando. Keempat wanita itu pun membuat formasi lingkaran dengan saling merangkul bahu satu sama lain dan berdiskusi sambil berbisik.

Setelah beberapa lama berdebat, akhirnya mereka menyetujui satu jawaban. Diniyah yang melihat sahabat-sahabatnya bangkit dari pose melingkarnya pun merespon “Bagaimana? Sudah ada kata sepakat di antara kalian?”

Empat wanita itu pun mengangguk dan Tasya angkat bicara “Jawaban kami adalah bunga itu baik”.

Diniyah pun mengangguk dan Tasya melanjutkan pembicaraannya “Alasan kami adalah karena pada dasarnya, seluruh makhluk Allah itu diciptakan dalam keadaan baik.”

“Allahu akbar!” pekik Sandra menambahkan dengan semangat.

Diniyah pun tersenyum lebar sambil menutup mulutnya untuk menahan tawa “Jawaban yang bagus”.

“Jawaban Mamah Dini apa?” tanya Sinta.

Diniyah pun menjawab dengan wajah polos “Dua-duanya. Baik dan jahat”.

Keempat temannya menghela nafas dengan berat. “Sebaiknya Mamah memberikan simpulan yang menggugah jiwa kami ya, atau pisau steak nya Laras akan melayang-layang” gerutu Sandra yang membuat Diniyah tertawa lagi dan lagi.

“Boleh jawabnya via telepon aja, ngga? Aku menyingkir dulu ke pos satpam, untuk jaga-jaga.” celetuk Diniyah yang membuat lainnya tertawa.

“Ngga boleh ngga sopan sama Mamah Dini! Bagaimanapun menyebalkannya jawaban Mamah Dini, samsak tinjunya tetap kamu, kok San.” balas Laras yang membuat Sandra berekspresi pura-pura terkejut dan merasa tertindas.

“Kami siap dengan simpulannya, Mah!” pekik Sinta.

“Jawaban kalian beneran bagus kok, tapi tetap ada lanjutannya. Sayangnya, bunga itu bukan makhluk berakal. Makanya, mereka tidak bisa bebas memilih mau jadi baik atau jadi jahat” jelas Diniyah.

“Peran bunga sebagai baik atau jahat ditentukan oleh yang menggunakannya. Ya manusia. Kita, sebagai makhluk berakal. Tergantung niat manusia.” jawab Diniyah yang menjeda ucapannya sebelum akhirnya disambung kembali “Jika kita berniat jahat, maka kita bisa menggunakan bunga yang indah sebagai alat kejahatan. Jika kita berniat baik, kita bisa menggunakan bunga untuk menebar kemanfaatan. Dan ini tentu saja tidak berlaku hanya untuk bunga. Untuk semua hal lainnya juga. Yang paling populer sebagai pisau bermata dua misalnya adalah lisan. Tentu tau dong betapa berbahaya sekaligus ampuhnya lisan? Intinya, apapun berasal dari niat, anak muda. Jagalah dirimu dimulai dari membenarkan niatmu.” jawab Diniyah mengakhiri penjelasannya.

Keempat temannya pun menyambut akhiran simpulan dengan tepuk tangan yang meriah.

“Selalu diakhiri dengan ceramah yang lembut. As expected from Mamah Dini” ujar Laras.

“Udah mau jam tiga sore ih masa hahaha” tawa Sinta saat melirik ke jam pada telepon genggamnya.

“O ya? Waw.. Oke, kita harus bersiap-siap ke parade bunga. Sebelumnya ke villa dulu kali ya buat shalat? Lebih nyaman di sana shalatnya” balas Diniyah sambil merapikan piring kotor dan alat makan yang berantakan di meja.

“Siap, mamah Dini” jawab Tasya sambil ikut merapikan meja.

Sementara itu, Sandra masih terbengong-bengong dan kemudian menyeletuk “Ih, gue kebayang-bayang terus bunga sebagai lambang pengkhianatan. Jadi sebel deh sama bunga”.

Sinta tertawa terkekeh-kekeh, “Terus kayaknya kalau kita dapat buket bunga harus dicek juga apa ada bom nya atau engga”

Diniyah menggeleng-geleng kepala “Begini nih karakter manusia. Intisarinya apa, yang membekas di hati lain lagi.”

Laras pun tertawa “Sabar ya, Mah. Manusia memang lebih tertarik pada hal-hal yang dramatis dan imajinatif.”

“Tolong tetap berteman dengan kami ya, Mah” sahut Tasya menimpali.

Diniyah tersenyum “Yuk, ke Villa?”. Semua pun bangkit dari duduknya dan menuju lantai bawah untuk menyelesaikan pembayaran.

Setelah selesai melakukan pembayaran, pramusaji pria yang mengenakan dasi kupu-kupu dengan seragam necis pun menyodorkan 5 tangkai bunga cantik berwarna merah yang masing-masingnya dibungkus kertas krep, plastik bening dan pita kepada Sandra sebagai cinderamata khas dari resto Floral.

“Silahkan diambil, Mbak. Ini signature gift kami untuk para pengunjung resto” ucap sang pramusaji dengan ramah pada Sandra.

Sandra yang mewakili lima sekawan pun cuma bisa menatap bunga itu sambil terbengong-bengong dan kemudian menjawab “Kalau boleh tau, mas berniat baik atau berniat jahat ya?”

“HAHAHAHAHAHAHAHAHA” tawa Sinta, Laras, Tasya dan Diniyah pun meledak mendengarnya.

Setelah agak tenang, Tasya segera mengambil bunga-bunga tersebut dan berterima kasih. Ia pun menyeret teman-temannya – berikut Sandra yang masih terus berpikir apakah bunga itu aman – keluar dari resto dan menyisakan mas pramusaji yang kebingungan.


Tidak ada komentar: