Ilustrasi
: Mima Uasha | Referensi Ilustrasi : 케일리[KAYLEE ARTravel]
Cerita : Dewi Emillia
“SUDAH SAMPAAAI! Akhirnya!~”
pekik Sandra – wanita berambut bob coklat kemerahan – bersemangat saat melihat
papan kayu bertuliskan ‘Taman Az Zahra’.
“Please, ngga usah
mendadak teriak kalau ngga mau gue tabrakin ini mobil ke papan kayu itu” protes
Laras, gadis Jawa – yang telah meresapi gaya anak perkotaan terlalu dalam –
berambut hitam lurus sepinggang dengan tahilalat manis yang menghiasi sudut
bibirnya.
“Coba mana coba? Tabrakin cobaaa”
tantang Sandra sambil terkekeh-kekeh yang disusul oleh pelototan murka Laras.
Sinta menghela nafas mendalam,
“Din, coba bacain surat apa gitu biar mereka akur. Ayat kursi kek, apa kek.”
ujar Sinta sambil membenarkan jaket jeans nya yang melorot.
Diniyah menggelengkan kepalanya
berat, “Sudah tidak ada harapan untuk mereka”. Tawa Sandra semakin kencang.
“Laras, orang waras mengalah”
ucap Tasya – wanita bertubuh semampai yang mengenakan baju terusan pink, hijab
motif bunga berwarna coklat susu.
“Kalau orang waras mengalah terus
kerjaannya, nanti yang ambil alih posisi penting di segala lini jadi orang
kayak gini semua” balas Laras sambil memberi isyarat kode gerakan jari telunjuk
miring di depan dahi nya, usai ia mematikan mesin mobil. Empat orang lainnya
pun tertawa kencang melihat ekspresi Laras.
“San, kita bisa langsung ke villa
nya dulu, kan?” tanya Tasya sembari mengeluarkan tas-tas dari mobil dan
mendistribusikannya satu persatu ke pemiliknya.
“Yep! Tinggal taro barang di
kamar terus kita jalan-jalan deh~” balas Sandra sambil merangkul Laras,
memastikan kalau mereka telah berdamai.
“Udah mau dzuhur, nanti shalat
dulu lho ya” ujar Diniyah setelah mengecek jam di arloji bertali kulitnya.
“Iya mamah Dini” jawab Sandra,
Laras dan Tasya serempak.
“Aku engga lho, ya” balas Sinta
jenaka, yang kemudian ditimpali oleh Diniyah “Kalau mau coba dulu juga boleh.
Siapatau tertarik untuk melanjutkan kelak”. Mereka pun tertawa sembari
menyusuri koridor dengan pilar putih kokoh yang dikelilingi salur dedaunan
menuju kawasan villa.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
Sandra masih sibuk mencari posisi
dan sudut yang tepat untuk mengambil potret pondok kayu yang akan mereka
tempati sebelum ia diseret paksa oleh Sinta menuju destinasi berikutnya.
“Kenapa deh kok buru-buru?”
protes Sandra sambil menepuk kotoran pada kulot berwarna pastelnya.
“Nyonya lapar berat” jawab Sinta
sambil menunjuk ke arah Tasya.
“Astaga! Situasi genting berarti!
Kenapa kita jalan?! Ayo lari! Kalau perlu naik jet kita ke resto! Go go go
go!” balas Sandra berpura-pura histeris dan mulai berlari-lari kecil.
“Sya, kalau butuh preman bayaran
buat gebukin Sandra, kabari gue aja. Biar gue yang melakukan pekerjaan kotor
itu.” sahut Laras yang disambut oleh tawa renyah Tasya.
“Kenapa sih harus pakai
kekerasan, mbak Laras? Why?” tanya Sandra sok memelas.
Seketika, Diniyah memegang kepala
Sandra dan melantunkan ayat kursi.
“HEH! DIKIRA GUE SETAN?!” ujar
Sandra kaget. Laras tertawa dan tepuk tangan dengan sangat bahagia.
“Wah itu tuh, Resto floral nya”
ucap Sinta menyadarkan kelompoknya akan tujuan utama mereka.
“Masya Allah. Suka deh interior
kayu di segala furniturnya. Lampion kayunya cantik” balas Diniyah
terkagum-kagum saat memasuki resto Floral.
“Komplek wisata Taman Az-Zahra ini
paket komplit banget sih emang, ya. Penginapan ada, kebun bunga ada, tempat outbound
ada, kolam renang indoor ada, mini market ada, resto pun ada. Bahkan resto
Floral ini menawarkan beragam masakan dari berbagai tempat. Japanese,
Chinese, Western, Indonesia. Wah..” puji Tasya sembari membuka-buka katalog
menu makanan dengan semangat.
Sandra baru membuka mulut untuk
berbicara sebelum disela oleh Laras “Jangan tanya apakah di sini ada jodoh atau
tidak. Klise. Cari lelucon yang lain.”
Sinta terkekeh melihat muka
cemberut Sandra yang gagal melucu.
Setelah memesan makanan di lantai
dasar dan diantar menuju meja pilihan mereka, lima sekawan itu hanya diam,
khidmat menatap pemandangan dari lantai paling atas resto Floral yang menghadap
langsung ke pegunungan. Mereka ditemani oleh angin semilir yang sejuk dan kicau
burung yang berbaur dengan lantunan musik dari resto.
“Makan di teras atas sini emang
lebih asik ya daripada di dalam ruangan ber-AC” ucap Laras memecah keheningan.
Tak lama kemudian, pramusaji pun datang dan menyuguhkan hidangan makanan yang
telah dipesan.
Sinta tertawa kecil “Mata Tasya
bersinar paling cerah saat lihat makanan, ya”. Tasya pun hanya tersenyum lebar
hingga menampakkan giginya.
“Eh, parade bunga nya dimulai jam
berapa sih?” tanya Sinta. Sandra – sang inisiator liburan kali ini – pun
menimpali setelah melirik contekan jadwal di telepon genggam nya “Kisaran jam 5
sore dimulai. Kita tetep harus stand by sih karena pengunjungnya pasti
ramai. Wajarlah ya, soalnya acara sekali setahun.”
“Nanti kita mau ke kebun bunga
setelah makan?” tanya Laras.
“Nanti aja deh. Kita perginya
abis ashar aja. Kalau dari sekarang jalan-jalan di kebun bunganya, nanti energi
keburu abis duluan. Kita kan mau ngikut parade sampai larut, toh. Kebun bunga
nya pas malam pasti bagus. Nanti ada lampu cantiknya gitu”. sahut Sandra.
“Kita mau ngapain dong sambil
nunggu parade?” tanya Laras lagi.
“San, kasih ide dong. Ide lo
biasanya cemerlang” celetuk Sandra ke Sinta. Sinta pun mengernyitkan alis dan
pasang pose berpikir. “Ah!” seru Sinta tiba-tiba.
“Main permainan kita yang biasa
aja. Main ‘Teka-teki mamah Dini’ ” jawab Sinta girang. Diniyah pun menghela
nafas “Aku lagi yang jadi tumbalnya.”
“Hahaha. Boleh deh. Walau gue
ngga ngerti kenapa kita ngga bosen-bosen main kuis ini. Padahal pertanyaan juga
acak, jawabannya apa lagi.” sahut Sandra menyetujui.
“Ya karena ngga jelas itu makanya
kita suka” sambung Tasya setelah asik menyeruput kuah soto mie.
“Heran, ya. Orang waras
terus-terusan mengalah. Hal yang ngga jelas, malah disukai. Apa yang salah sih
pada kehidupan ini?” sahut Laras sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Sssttt.. yang boleh melempar
pertanyaan di sini cuma Diniyah” protes Sandra.
“Sesi kuis-kuisannya setelah kita
semua selesai makan ya, anak-anak. Mamah mau cari ilham dulu” balas Diniyah
pasrah mengikuti permintaan sahabat-sahabatnya itu.
“Oke, mamah Dini” jawab Sandra,
Laras, Sinta dan Tasya serempak yang kemudian disusul oleh khidmatnya mereka
menyantap hidangan di hadapan mereka. Sesekali mereka saling mengobrol kecil
dan tertawa atau saling menangkap citra satu sama lain dengan pose andalan
masing-masing.
Setelah menuntaskan makanan
dengan lahap, air wajah lima sekawan – kecuali Diniyah – terlihat berbinar
menanti pertanyaan yang akan diajukan Diniyah.
Diniyah menahan senyum melihat
ekspresi sahabatnya yang seperti anak kecil menunggu didongengkan ibunya
sebelum tidur. Diniyah pun berdeham dan merapikan letak kerudungnya agar
simetris “Oke. Kita akan mulai ‘Teka-teki mamah Dini’. Sekarang.. juga!” ucap
Diniyah sambil mengetuk sendok ke piring agak kencang sebanyak tiga kali dengan
serius.
Melihat wajah para ‘anak kecil’
yang fokus, Diniyah pun melanjutkan pertanyaannya “Apa fungsi dari bunga?”
“Eheeeeyyy!” pekik Sandra, Laras,
Sinta dan Tasya dengan nada protes secara kompak.
“Sejak kapan ‘Teka-teki Mamah
Dini’ berubah jadi olimpiade Biologi?” tanya Sinta heran.
Diniyah pun tertawa kecil
mendengarnya. “Kalian lupa aturan ‘Teka-teki Mamah Dini’? Jawablah dengan
sesuka hati. Simpulannya nanti kan urusanku”.
“Fungsi tuh gimana deh? Ya buat
keseimbangan alam, lah” jawab Laras.
“Yaudah, kuganti pertanyaannya
supaya tidak mengingatkan kalian pada Biologi. Dalam kehidupan sehari-hari
kita, bunga bisa digunakan sebagai lambang apa? Apa yang biasanya orang-orang
lakukan menggunakan bunga?” sahut Diniyah mengalah.
“Lambang cinta, dong!” sahut
Sandra dengan menggebu-gebu. Ia pun spontan bertekuk lutut di hadapan Laras
sambil seakan-akan menyodorkan bunga dan berkata dengan lembut “Will you
marry, me, Prince Harry?”
Laras menatap Sandra dengan manis
“How much do you love me, Young Lady?
“I will die for you, prince! I
will give you my all!” balas Sandra meneruskan sandiwara dadakan.
“Then, please die” jawab
Laras sambil menyodorkan pisau steak nya ke depan muka Sandra.
“Astaghfirullah… Pisau lho itu,
Ras” sahut Sandra yang terduduk lemas di lantai karena kaget.
“Hahaha elah, srimulat” celetuk Sinta.
Tasya menggeleng-gelengkan kepala
ke arah Diniyah “Pertanyaan Mamah Dini hampir saja menumpahkan darah”.
“Bukan pertanyaanku yang salah,
anak muda. Jiwa-jiwa mereka yang tersesat lah yang menggiring mereka pada
malapetaka” jawab Diniyah membela diri.
“HAHAHAHAHA” tawa Sinta pun
meledak sekali lagi.
“Lambang simpati” jawab Laras
tanpa memedulikan sandiwara yang telah berlalu. “Kenapa, tuh?” tanya Diniyah.
“Hmm.. karena orang-orang terkadang
memberikan buket bunga untuk orang yang baru sembuh dari sakit. Atau kadang
memberi karangan bunga juga untuk keluarga dari seseorang yang meninggal dunia.”
jelas Laras.
“Wah, jawaban yang bagus” ucap Sinta
sambil bertepuk tangan kecil. Diniyah pun mengangguk-angguk.
“Aku mau coba jawab! Lambang
penghormatan! Karena bunga-bunga indah biasa ditabur untuk mengenang jasa para pahlawan”
jawab Sinta yang mendadak diikuti dengan senandung mengheningkan cipta oleh
Sandra dan Laras. Diniyah terkekeh-kekeh melihat dua temannya yang selalu
kompak di saat yang tepat. Diniyah mulai berpikir bahwa Sandra dan Laras harus benar-benar
mengikuti audisi Srimulat.
“Tasya belum nih. Keliatan
berpikir keras banget. Ngga lagi mikirin mau pesan tambahan makanan apa, kan,
Sya?” ledek Sandra.
“Bunga itu….. lambang
pengkhianatan?” jawab Tasya dengan agak ragu setelah berpikir beberapa saat.
Spontan, Sandra, Laras dan Sinta langsung menatap Tasya lekat-lekat dengan
rasa penasaran di wajah mereka. Diniyah pun tersenyum tipis, “Lanjut, Sya
penjelasannya”.
“Berdasarkan pengamatan pada
drama-drama di televisi, dan sepertinya juga sering terjadi di kehidupan nyata,
banyak orang yang setelah berselingkuh, pulang kembali pada pasangannya dengan
segudang hadiah, termasuk buket bunga yang sangat mewah dan cantik.” jawab
Tasya lagi.
Tasya pun melirik
sahabat-sahabatnya dan mendapati ekspresi mereka yang termangu beberapa lama.
“Bener juga ya..”celetuk Laras
sambil mengangguk-anggukkan kepala.
“Oh my god. Otak gue yang
polos dan suci ini mendadak sakit membayangkannya” sahut Sandra.
Diniyah justru nampak puas dengan
jawaban yang ia dengar dari Tasya.
“Wah, mamah Dini tersenyum!
Berarti jawaban Tasya adalah jawaban yang ia nanti-nanti!” seru Sinta sambil
menunjuk ke arah Diniyah.
Diniyah pun tertawa “Hahaha. Apa
sih? Jawabannya kan boleh bebas. Santai aja, dong”.
“Oh! Kalau gitu bunga juga bisa
jadi lambang teror” sambung Laras.
“Waduh, kenapa lagi, nih?” tanya
Sandra kesal mendengar lambang cintanya terus dipojokkan.
“Karena bom suka diselipkan di
dalam tanaman atau karangan bunga, supaya ngga ketahuan”, jawab Laras.
“Astaghfirullah..” sahut Tasya.
“Bunga tidak akan pernah terlihat
sama lagi setelah ini” gumam Sinta sambil menyeruput jus mangganya yang tersisa
sedikit.
Diniyah pun tidak bisa menahan
tawanya dan sibuk tertawa sambil menutupi mulutnya.
“Setelah ini apa nih, Mah? Masuk
ke simpulan atau pertanyaan tambahan?” desak Sandra.
Diniyah pun menenangkan diri dan
kembali ke mode serius “Kita masuk ke pertanyaan tambahan dulu, ya. Pertanyaan
terakhir.”
Empat orang yang lain pun
mengangguk dan kembali menyimak apa yang akan Diniyah sampaikan.
“Setelah tadi sahabat sekalian
menjabarkan lambang dari bunga, bulatkan satu suara dan jawab : bunga itu sebenarnya
baik atau jahat?” tanya Diniyah.
“Eheeeeyyy!” pekik Sandra, Laras,
Sinta dan Tasya dengan nada protes untuk kedua kalinya. Diniyah pun kembali
tertawa.
“Saat awal kuis, gue udah siap
dengan pertanyaan aneh, tapi malah dikasih kuis biologi. Saat pertanyaan
terakhir, gue udah menyiapkan mental dengan pertanyaan sains, malah dikasih
pertanyaan yang ngajak berantem”, protes Sandra yang membuat tawa Diniyah semakin
kencang.
“Tenang, kawan-kawan. Mari kita
lalui semua kuis ini dengan lapang dada. Saatnya kita musyawarah untuk mencapai
mufakat” ucap Tasya memberi komando. Keempat wanita itu pun membuat formasi
lingkaran dengan saling merangkul bahu satu sama lain dan berdiskusi sambil
berbisik.
Setelah beberapa lama berdebat,
akhirnya mereka menyetujui satu jawaban. Diniyah yang melihat
sahabat-sahabatnya bangkit dari pose melingkarnya pun merespon “Bagaimana?
Sudah ada kata sepakat di antara kalian?”
Empat wanita itu pun mengangguk
dan Tasya angkat bicara “Jawaban kami adalah bunga itu baik”.
Diniyah pun mengangguk dan Tasya
melanjutkan pembicaraannya “Alasan kami adalah karena pada dasarnya, seluruh
makhluk Allah itu diciptakan dalam keadaan baik.”
“Allahu akbar!” pekik Sandra
menambahkan dengan semangat.
Diniyah pun tersenyum lebar
sambil menutup mulutnya untuk menahan tawa “Jawaban yang bagus”.
“Jawaban Mamah Dini apa?” tanya Sinta.
Diniyah pun menjawab dengan wajah
polos “Dua-duanya. Baik dan jahat”.
Keempat temannya menghela nafas
dengan berat. “Sebaiknya Mamah memberikan simpulan yang menggugah jiwa kami ya,
atau pisau steak nya Laras akan melayang-layang” gerutu Sandra yang
membuat Diniyah tertawa lagi dan lagi.
“Boleh jawabnya via telepon aja,
ngga? Aku menyingkir dulu ke pos satpam, untuk jaga-jaga.” celetuk Diniyah yang
membuat lainnya tertawa.
“Ngga boleh ngga sopan sama Mamah
Dini! Bagaimanapun menyebalkannya jawaban Mamah Dini, samsak tinjunya tetap
kamu, kok San.” balas Laras yang membuat Sandra berekspresi pura-pura terkejut
dan merasa tertindas.
“Kami siap dengan simpulannya,
Mah!” pekik Sinta.
“Jawaban kalian beneran bagus
kok, tapi tetap ada lanjutannya. Sayangnya, bunga itu bukan makhluk berakal.
Makanya, mereka tidak bisa bebas memilih mau jadi baik atau jadi jahat” jelas
Diniyah.
“Peran bunga sebagai baik atau
jahat ditentukan oleh yang menggunakannya. Ya manusia. Kita, sebagai makhluk
berakal. Tergantung niat manusia.” jawab Diniyah yang menjeda ucapannya sebelum
akhirnya disambung kembali “Jika kita berniat jahat, maka kita bisa menggunakan
bunga yang indah sebagai alat kejahatan. Jika kita berniat baik, kita bisa
menggunakan bunga untuk menebar kemanfaatan. Dan ini tentu saja tidak berlaku
hanya untuk bunga. Untuk semua hal lainnya juga. Yang paling populer sebagai
pisau bermata dua misalnya adalah lisan. Tentu tau dong betapa berbahaya
sekaligus ampuhnya lisan? Intinya, apapun berasal dari niat, anak muda. Jagalah
dirimu dimulai dari membenarkan niatmu.” jawab Diniyah mengakhiri penjelasannya.
Keempat temannya pun menyambut
akhiran simpulan dengan tepuk tangan yang meriah.
“Selalu diakhiri dengan ceramah
yang lembut. As expected from Mamah Dini” ujar Laras.
“Udah mau jam tiga sore ih masa
hahaha” tawa Sinta saat melirik ke jam pada telepon genggamnya.
“O ya? Waw.. Oke, kita harus
bersiap-siap ke parade bunga. Sebelumnya ke villa dulu kali ya buat shalat?
Lebih nyaman di sana shalatnya” balas Diniyah sambil merapikan piring kotor dan
alat makan yang berantakan di meja.
“Siap, mamah Dini” jawab Tasya
sambil ikut merapikan meja.
Sementara itu, Sandra masih
terbengong-bengong dan kemudian menyeletuk “Ih, gue kebayang-bayang terus bunga
sebagai lambang pengkhianatan. Jadi sebel deh sama bunga”.
Sinta tertawa terkekeh-kekeh,
“Terus kayaknya kalau kita dapat buket bunga harus dicek juga apa ada bom nya
atau engga”
Diniyah menggeleng-geleng kepala
“Begini nih karakter manusia. Intisarinya apa, yang membekas di hati lain
lagi.”
Laras pun tertawa “Sabar ya, Mah.
Manusia memang lebih tertarik pada hal-hal yang dramatis dan imajinatif.”
“Tolong tetap berteman dengan
kami ya, Mah” sahut Tasya menimpali.
Diniyah tersenyum “Yuk, ke
Villa?”. Semua pun bangkit dari duduknya dan menuju lantai bawah untuk
menyelesaikan pembayaran.
Setelah selesai melakukan
pembayaran, pramusaji pria yang mengenakan dasi kupu-kupu dengan seragam necis
pun menyodorkan 5 tangkai bunga cantik berwarna merah yang masing-masingnya
dibungkus kertas krep, plastik bening dan pita kepada Sandra sebagai
cinderamata khas dari resto Floral.
“Silahkan diambil, Mbak. Ini signature
gift kami untuk para pengunjung resto” ucap sang pramusaji dengan ramah
pada Sandra.
Sandra yang mewakili lima sekawan
pun cuma bisa menatap bunga itu sambil terbengong-bengong dan kemudian menjawab
“Kalau boleh tau, mas berniat baik atau berniat jahat ya?”
“HAHAHAHAHAHAHAHAHA” tawa Sinta,
Laras, Tasya dan Diniyah pun meledak mendengarnya.
Setelah agak tenang, Tasya segera
mengambil bunga-bunga tersebut dan berterima kasih. Ia pun menyeret
teman-temannya – berikut Sandra yang masih terus berpikir apakah bunga itu aman
– keluar dari resto dan menyisakan mas pramusaji yang kebingungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar