“Selamat atas pernikahanmu”
“Terima kasih, sudah lama tidak
berjumpa. Bagaimana kabarmu?”
“Baik. Walau pernah lebih baik
dari ini”
Sang wanita terdiam, lalu
melanjutkan bicara berusaha terlihat wajar “Silahkan disantap jamuannya. Semoga
menikmati ya”
Pria itu tersenyum, berbisik di
dekat wajah sang mempelai wanita “Kau tau benar, aku tak bisa begitu”
Pembicaraan terhenti, kondisi
bersesakan di belakangnya yang menunggu giliran untuk menyalami sang pengantin
memaksa pria berkulit putih ini untuk turun dari pelaminan segera.
Raut ceria yang dibuat-buat oleh
mempelai wanita semakin kaku. Ia menatap lemah punggung pria yang pergi itu
dari kejauhan.
“Kamu tidak apa-apa, nak?” ujar
seorang wanita tua bersanggul rapi yang sedaritadi berdiri mendampingi.
Semburat kerut terpampang di kulit wajahnya yang sawo matang. Polesan bedak dan
gincu belum mampu menutupi air wajahnya yang lelah.
Ia menyentuh lembut tangan sang
mempelai wanita. Sentuhan yang hangat dan menyiratkan kekhawatiran mendalam. Tangan
wanita tua yang kasar membabat habis kelemahan hati sang mempelai wanita. “Aku
baik-baik saja, bu” balas wanita itu, tersenyum tulus.
“Kamu bahagia?” tanya wanita tua
itu lagi.
Sang mempelai wanita termangu. Di
beberapa detik pertama, satu nama, satu gambaran wajah, dan satu kisah
terlintas. Suara berat yang sempat mengisi sebagian besar ruang di gendang
telinganya, kembali hadir. Memori akan sentuhan tegas yang sempat memberi
keyakinan pada masanya, pelan-pelan menuntut kembali masa kejayaannya.
Di beberapa detik berikutnya,
permukaan tangan wanita tua yang kasar itulah yang memenuhi benak. Isakan tertahan adik yang kelaparan serta
bunyi gemeretak gigi di kala menggigil suatu waktu di musim hujan berhasil
memukul mundur semua ragu dan memori masa lalu yang sentimental.
Sang mempelai wanita kembali
tersenyum, lebih tulus, dan menggandeng sang mempelai pria “Tentu saja, kami
sangat bahagia”.
4 Maret 2016 | 11 : 22 PM