Lubang itu menganga lebar.
Siap menelan apapun untuk masuk ke dalamnya.
Hari demi hari, bersandiwara seakan semua berjalan mulus.
Dikelilingi sahabat yang luar biasa, keluarga penuh kehangatan, dan lingkungan yang selalu menerima kehadiran diri.
Tak ada yang lebih sempurna.
Apa?
Tentu masih ada.
Aku ini manusia. Dan adalah mustahil bagi spesies kami untuk mudah bersyukur dan puas akan apa yang kami punya kini.
Aku wanita, dan sudah cukup ranum untuk terjun dalam dunia itu...
Dunia impian yang selalu dipromosikan dalam cerita dan dongeng sebelum tidur untuk para anak kecil - atau lebih tepatnya cerita dewasa berkedok dongeng.
Pangeran dan putri. Beserta segala keindahan di dalamnya.
Dan cinta sejati.
Sounds like a miracle. Yet, now i know, it isn't that easy to get.
"Semua akan datang pada saatnya"
Aku pun melenggang dan yakin akan segala romantisme yang pasti datang.
Tahun pun silih berganti.
Segala sahabat datang dan menceritakan dongeng versi mereka.
Ada yang bahagia dan setia. Ada yang setia namun menderita. Ada yang tidak setia namun tetap bahagia.
Namun pasti ada satu titik jenuh, sehingga pada akhirnya mereka semua memutuskan berpisah.
Suka - pacaran - romantisme satu tahunan - jenuh - break - balikan - mesra - jenuh lagi - putus.
Siklus yang mengerikan.
Seperti lawakan. Atau mungkin rasa jenuh itu terencana sejak awal.
Aku pun masuk dalam fase pertanyaan:
"Sebenarnya pacaran itu manfaat nya apa?"
Aku diam dan mencari jawaban.
"Sepertinya memang tidak ada"
Aku pun lompat dalam kesimpulan, pacaran itu tidak ada gunanya.
Apa?
Bukan. Aku bukanlah penganut paham religi.
Aku belum masuk dunia itu.
Aku tetap melenggang pergi. Berlaku seakan kuat.
Namun aku lupa satu hal.
Lubang itu masih ada. Dan semakin menganga.
Beberapa lama bertahan pada kesimpulan "pacaran itu tidak ada gunanya"
Ya. Namun hati ini berkata lain.
"Hati ini masih memiliki lubang. Aku yakin ini karena kesendirianku"
Bukan. Aku bukannya tidak memiliki sahabat.
Bahkan mungkin satu negara pun tidak sanggup untuk menampung stok teman-temanku.
Namun ini kasus lain.
Aku butuh satu orang. Satu saja. Untuk menutupi lubang ini.
Pendamping. Partner in crime. Bukan pacar secara teori.
Mungkin lebih tepatnya, aku terlalu angkuh untuk mengakui bahwa "yea i do need boyfriend"
Dan pencarian pun berlangsung. Segera, aku tenggelam dalam fantasi dan kebahagiaan semu.
Tidak ada bedanya dengan para kaum hawa pemburu jodoh lainnya.
Kemana prinsip "Pacaran tidak ada gunanya"? Hilang mungkin digondol kucing.
Terus berlanjut hingga fase jenuh. Fase yang selalu ditemui semua kaum pecinta.
Aku pun tercenung.
Merenung dan menatap dari kejauhan.
Menatap semuanya dan diam.
Apa yang selama ini terjadi?
Aku tersenyum pada dia yang bahkan menoleh padaku pun jarang.
Aku tenggelam dalam euforia setiap ia menyapaku meskipun itu hanya sapaan formalitas.
Kelewat gembira setiap ada yang memberi perhatian lebih.
....... are you nuts?
Bagaimana lubangnya? Tetap menganga.
Segala romantisme yang disuguhkan di telenovela nampak seperti lelucon.
Kini aku yakinkan diri, aku lelah memasuki dunia dongeng itu.
Lelah. Dan aku pasrah pada lubang yang kian menggelap.
Kosong. Hampa.
Ada yang salah.
Apa benar lubang itu ada karena kesendirianku?
Mengapa wanita lain mudah mendapatkan pria idamannya, sedangkan aku? banting tulang plus daging pun hasilnya nihil.
Aku tidak buruk rupa, aku yakin itu.
Apa yang salah?
Pada satu ketika, aku bertemu seseorang.
Bukan. Bukan partner in crime yang aku idamkan. Atau pangeran berkuda dalam fantasi anak kecil.
Hanya seorang sahabat perempuan. Mungil dan manis.
Menamparku tanpa kata-kata.
Mengajakku mengingat apa bagian yang telah hilang dalam kalbu ini, yang kini meninggalkan lubang yang kian mengganas.
Menjelaskanku akan arti cinta sejati yang sesungguhnya.
Have you forgotten the one who wakes you up every morning?
The one who gives you oxygen to breathe?
The one who is always there to help you when no one else does?
The one who always give and teach you the true love?
The one who creates you?
Have you forgotten Allah?
................
now i know, i was wrong.
Aku tidak butuh manusia untuk menutupi lubang itu.
Karena mereka memang tak mampu. Tak mungkin mampu.
Bahkan layaknya HCl pekat, mereka hanya mampu memperlebar lubang itu.
Aku lalai. Melupakan pecinta abadi ku untuk mengejar cinta semu.
Wajar. Aku merasa hampa.
Bagaimana mungkin aku sampai hati, mencampakkan satu-satunya yang selalu ada dan mengabulkan setiap pintaku, hanya demi pria yang belum jelas kehalalannya untukku.
Apa?
Bukan. Aku bukanlah lah kaum yang berilmu agama tinggi.
Namun aku ingin masuk dunia itu. Pasti hangat.
Kini jawaban telah tergambar jelas.
Benar, hati ini memang kekurangan cinta.
Namun bukan dari sesama manusia.
Ya. Memang bukan hal yang mudah untuk mencintai sesuatu yang tak terlihat.
Tapi, "tidak mudah" itu bukanlah berarti "tidak bisa" kan?
Teori itu memang terdengar mudah.
Praktek?
Tentu sulit jika tidak meminta pertolongan-Nya.
Apa? Sekarang hatiku sudah suci? Terlindung dari segala godaan pria tampan yang menggiurkan? Tentu tidak.
Selama setan masih berkeliaran di muka bumi, akan selalu ada kesempatanku untuk berbelok.
Dan mata ini sayangnya memang di desain untuk nakal.
Perjalananku menuju "cinta sejati" masih panjang.
Dan kini pertarunganku dimulai. Kalau kamu? Kapan mau mulai?
---------------------------------------------------------------------
"Fraya" suara berat yang khas itu mendadak menyeruak masuk ke kamarku - well, lebih tepatnya kamar kami. Menyadarkanku dari lamunan dan senyuman panjang. Mengalihkanku dari netbook kesayanganku. "Masih sibuk mengurusi blog mu?" tanyanya lembut sembari duduk di sisi kasur. Aku tersenyum ringan. Kuamati lagi pria yang kini ada di hadapanku. Pria yang telah halal untukku, pria pilihan Allah. Tak pernah henti aku bersyukur. "Hey" ucapnya lagi dan menjentikkan jarinya serta tak absen untuk menyengir. "Mukamu plongo sekali, Fray. Nanti malaikat takut loh lihat muka kamu" ledeknya. "Malaikat hanya takut sama Allah, mas" balasku sok serius. Dan dia membalasnya dengan tertawa puas kemudian mengelus kepalaku.
"Ada yang seru di blog?" tanyanya lagi, kembali pada fokus semula. "Hem. Tidak. Hanya memori dan postingan lamaku, tapi seru. Banyak yang komen tentang pengalaman mereka masing-masing. Padahal kan aku ngga nanya :p huehehe" jawabku bercanda. "Sok banget ya istriku yang satu ini" dia pun melirik ke arah jam dinding hijau muda yang tergantung di dinding kamar. "Hem saatnya bercakap-cakap dengan Allah. Ayo wudhu, Fraya" ucapnya sambil tersenyum dan segera kami beranjak pergi bersama.
1 komentar:
suka deh sama ceritamu kali ini dew.entah karena sepemikirian atau karena yang lain hehe :)
Posting Komentar